Antara Etika vs Pandai Matematika

Mengajarkan anak beretika sejak dini lebih baik dari pada mengajarkan etika diusia dewasa.

Alkisah Sebuah Pohon Alpukat dan Benalu

Setiap orang yang meremehkan dosa kecil sekalipun, akan terjerat oleh dosa yang lebih besar lagi.

Sekawanan Angsa dan Badai Salju

Jika aku bisa menjadi salah satu dari mereka, maka aku pasti bisa menyelamatkan mereka.

Kisah Anak Penyemir Sepatu

Mulai sekarang, tidak ada satupun yang tidak ingin saya buat bagi Bapak. Semuanya saya mau lakukan untuk menyenangkan hati Bapak

Prosedur Perkawinan Gereja Katolik

Jika Anda adalah pasangan yang akan menerimakan Sakramen Perkawinan, atau akan menikah secara Katolik maka silahkan membaca artikel ini.

Tahun Kerahiman

Tahun Kerahiman

Masa Prapaskah II/C/2010 - 28 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU PRAPASKAH II/C/2010
28 Februari 2010
Kej 15:5-12.17-18   Fil 3:17-4:1   Luk 9:28b-36

PENGANTAR
          Hari ini kita mendengarkan Injil Lukas tentang Transfigurasi Yesus, atau penampakan Yesus yang dimuliakan, di gunung Tabor. Langsung sebelum ceritera tentang kemuliaan Yesus ini Lukas justru menulis: “Yesus berkata:<Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga >” (Luk 9:22). Dalam gambaran kontras antara penderitaan dan kematian di satu pihak, dan kemuliaan Yesus di lain pihak inilah hari ini pesan berita Lukas tentang transfigurasi Yesus kepada kita.

HOMILI
          Lukas sesudah berceritera (Luk 9:22-27), bahwa Yesus sendiri harus menderita, mati dan bangkit, langsung memberitakan transfigurasi-Nya, yang merupakan gambaran kemuliaan-Nya. Jadi penderitaan Yesus akhirnya membawa-Nya kepada kemuliaan.
          Sejak dalam Perjanjian Lama peristiwa atau momen-momen yang penting, besar dan mulia berlangsung di gunung-gunung tinggi. Misalnya Yahwe berbicara kepada Musa di Gunung Sinai. Elias disapa Yahwe di gunung juga. Juga dalam Perjanjian Baru: Yesus pergi dan naik ke gunung untuk berdoa (Luk 6:12; 22:39-41). Dalam Minggu Prapaskah I yang lalu kita melihat Yesus 40 hari godaan di padang gurun, tetapi hari ini kita diajak melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Tetapi di samping Tabor masih ada gunung atau bukit lain, yang bukan menunjukan kemegahan dan kemuliaan, melainkan kehinaan Yesus, yaitu gunung Golgota!
          Dalam Injil hari ini Lukas menunjukkan kepada kita, bagaimana Yesus mendidik dan menyiapkan murid-murid-Nya, agar supaya dapat menjadi pengikut-pengikut-Nya yang benar dan setia!
          Seperti terbukti sampai akhir hidup-Nya, murid-murid Yesus masih belum memiliki gambaran tentang Almasih yang sebenarnya. Almasih tetap digambarkan terlalu secara manusiawi. Almasih dilukiskan sebagai Raja yang berkuasa, megah istananya, mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Mereka belum bisa memahami kata-kata Yesus ini: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak...lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.- Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:22-23). Karena itu mereka (meskipun hanya 3 orang) diajak Yesus naik ke gunung Tabor, agar tahu bahwa di manapun dan dalam keadaan apapun Allah selalau hadir! Meskipun ada tantangan dan godaan bagi Yesus di padang gurun, akhirnya ada kemuliaan juga bagi-Nya di gunung Tabor.
          Pengalaman Yesus adalah teladan bagi kita. “Masa Puasa hidup kita”, bukan hanya Masa Puasa liturgis 40 hari! Hidup kita adalah masa penuh godaan dan tantangan, harus kita hadapi dengan penuh harapan.Tetapi untuk membawa kita kepada gunung kebahagiaan.
          Keinginan Petrus untuk tetap tinggal dalam “keadaan enak” di gunung Tabor itu merupakan suatu contoh keinginan manusia untuk tetap merasakan yang “enak”, aman, memuaskan, menyenangkan, untuk menghinia tak mau menggabungkan diri dengan masyarakat , di mana ada kesukaran, risiko, pertentangan dan tantangan hidup. Demi “keamanan” dan jangan sampai kehilangan kenyamanan hidup yang sudah dimiliki, ia hanya ingin merasakan yang enak saja. Orang condong untuk tidak turun dari gunung kenyamanan dan turun untuk menjumpai orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
         
          Mengapa Tuhan memperlihatkan kemuliaan Yesus hanya kepada 3 murid-Nya, dan tidak kepada semua orang?  Mengapa kemuliaan Yesus di Tabor tidak jauhkan dari kehinaan-Nya di salib di Golgota? Transgfigurasi Yesus memberi pelajaran kepada kita, bahwa kehidupan mulia hanya dapat ditempuh dan dicapai lewat kematian.
          Petrus, Yakobus dan Yohanes, yang diberi kesempatan melihat kemuliaan Yesus di gunung Tabor diajak turun lagi dari gunung itu oleh Yesus. Artinya, “di bawah”, di dalam masyarakat, di sana masih banyak orang yang harus diberitahu, diberi keyakinan, bahwa Yesus adalah sungguh Penyelamat kita, yang datang dari Allah. Karena itu meskipun akan menderita dan mati di gunung Golgota, namun di gunung yang sama Ia akan bangkit kembali dan dimuliakan, seperti telah dilambangkan  di gunung Tabor.

Jakarta, 27 Febrauri 2010.

Masa Prapaskah I/C/2010 - 21 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MISA PRAPASKAH I/C/2010
21 Februari 2010
Ul 26:4-10   Rm 10:8-13   Luk 4:1-13

PENGANTAR
           Dalam perayaan Rabu Abu, Paus Benedictus XVI yang juga mene-rima abu di dahi sebagai ungkapan pertobatan, berkata bahwa “kita ini (yang) abu dan akan kembali menjadi abu” adalah ‘sangat berharga’ di hadapan Allah. Di manakah letak kebesaran kita? Letak kebesaran sejati kita sebagai orang Kristen kita peroleh, apabila kita mampu dan berhasil melawan dan mengatasi godaan si jahat, seperti akan kita dengarkan dalam Injil Lukas hari ini.

HOMILI
          Lukas menceriterakan Yesus dibimbing Roh pergi ke padang gurun, dan tinggal di sana 40 hari dan dicobai Iblis. Kena panas terik matahari, menderita karena lapar, Ia menghadapi tantangan Iblis. Godaan yang dialami Yesus adalah gambaran perjuangan hebat antara “yang baik” dan “yang jahat”, antara Allah dan Setan. Pengalaman Yesus di padang gurun itu membangkitkan pertanyaan dalam diri kita.
Pengalaman-pengalaman “di padang gurun” apa yang telah  kualami dalam hidupku? Pengalaman di padang gurun manakah yang kini masih tetap kualami sekarang ini juga? Seperti Yesus sendiri, kapan dan bagaiman aku menyediakan waktu atau saat-saat untuk renungan, waktu menyendiri untuk refleksi atau kontemplasi di tengah-tengah kesibukan hidupku? Bagaimana hidupku di tengah padang gurun hidupku sendiri? Apakah aku selalu dan tetap tegas, berani dan konsisten melawan iblis/setan? Apa yang kuusahakan secara tak kenal lelah untuk mengubah padang gurun hidupku menjadi hidup yang sungguh penuh ketenangan dan damai?
          Dalam ceritera Lukas kita melihat bagaimana iblis mencoba terus menerus mengajak Yesus meninggalkan keutuhan kemurnian hati dan kesetiaan-Nya kepada Bapa-Nya yang mengutus-Nya sebagai Penyela-mat. Bila Israel, bangsa-Nya dahulu  di padang pasir telah gagal bertahan setia kepada Yahwe, Tuhannya, namun Yesus tidak pernah akan demiki-an! Yesus setia dan berpegang teguh pada ikatan-Nya dengan Bapa-Nya, sehingga setan-setan di padang gurun pun tidak mampu mengalahkan kesetiaan-Nya.
          Dalam godaan pertama tentang kebutuhan materiil, Yesus secara tegas tidak menyangkal kebutuhan manusia akan makan minum untuk pemeliharaan hidupnya. Tetapi bagi Yesus hidup manusia dan kebutuhan-nya harus selalu disesuaikan dengan kehendak Allah. Artinya, barang-siapa mau mengikuti Yesus tidak akan menggantungkan dirinya hanya dari hal-hal materiil belaka. Bila kita lebih tergantung pada barang materiil dan bukan pada Allah, berarati kita terus memasuki godaan dan berdosa.
          Godaan kedua menyinggung hal penghormatan kepada setan dari-pada kepada Allah. Yesus sekali lagi menegaskan kepada setan, bahwa Allah menguasai dan mengatur segalanya. Kita harus selalu ingat akan hal itu, terutama apabila godaan-godaan yang kita hadapi menguasai kita. Juga apabila kita mengalami situasi, di mana segala sesuatu tampaknya gagal, gelap dan jahat. Padahal akhirnya Tuhan Allahlah yang menen-tukan nasib kita.
          Dalam godaan ketiga si iblis mencoba minta bukti atau suatu menifestasi kasih Allah khusus kepada Yesus melebihi lainnya. Yesus menjawab, bahwa Ia tidak perlu membuktikan kepada siapapun, bahwa Allah mengasihi-Nya.
          Godaan adalah segala sesuatu yang membuat kita rendah, kecil, buruk, jelek, tak berharga! Godaan si jahat menggunakan segala macam cara apapun. Godaan si  jahat tidak akan pernah berhenti. Yesus sendiri sejak awal berhadapan dengan si jahat. Seperti diceriterakan dalam Injil Lukas, Yesus selalu melawan si jahat dengan menggunakan Kitab Suci, baik dalam kegelapan kebingunan, keragu-raguan maupun dalam godaan.
          Kita harus belajar dari Yesus, bahwa Allah selalu hadir dan memperkuat kita di tengah godaan, bahkan dalam kedosaan kita! Apapun dan bagaimanapun keadaan kita, kita harus menyediakan ruang dan saat rohani dalam hidup kita, di mana kita dapat melepaskan diri dari suasana dan iklim palsu di sekeliling kita, agar dapat menghirup udara sehat lagi.
          Itulah pelajaran-pelajaran yang dapat kita peroleh dari padang gurun. Pelajaran itu sungguh kita butuhkan, baik di tengah kesibukan hidup dan karya, maupun pada saat berdoa dan dalam ketenangan untuk mendengarkan sabda Allah.
          Kita dapat bertemu dengan Allah di tengah padang gurun kedosa-an, kelemahan, kesendirian, ketakutan dan kehilangan harapan. Dan di tengah padang gurun hidup kita, kita akan mendengar apa yang dikehen-dikan-Nya, asal kita bersedia untuk selalu membuka hati kita kepada-Nya
          Jalan-jalan tak terelakkan di padang gurun, yang harus ditempuh terletak di dalam hati Yesus. Jalan-jalan yang sama itu ada juga di hati kita, dan harus ditempuh oleh setiap orang yang mau mengikuti Dia. Sebagai manusia Yesus juga dari debu dan kembali menjadi debu. Tetapi debu yang bangkit kembali. Memang kita pun debu seperti Yesus, namun berharga dihadapan Allah.

Jakarta, 20 Februari 2010

Rabu Abu - 17 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
Rabu Abu
17 Februari 2010
Yoel 2:12-18   2 Kor 5:20-9:2   Mat 6:1-6.16-18

            Prestasi kemampuan, pelaksanaan dan hasil gemilang adalah pegangan dasar, yang harus dicita-citakan setiap orang, apabila ingin berbuat sesuatu secara profesional. Makan minum, latihan fisik maupun psikis, ketahanan dan disiplin diri, semua itu merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi, bila ingin berprestasi.
           
Untuk merayakan Pesta Paskah, Hari Raya Kebangkitan Yesus Kristus, kita mulai hari ini diajak Gereja untuk berpuasa. Kita diajak mempersiapkan diri supaya perayaan Kebangkitan Kristus sungguh berdayaguna bagi hidup kita. Artinya supaya kita ikut bangkit bersama Dia.
           
Yesus pun ternyata harus berpuasa empatpuluh hari. Ceritera pendek tentang pengalaman-Nya dicobai setan di padang gurun merupakan suatu psikologi rohani yang fundamental bagi semua murid-Nya. Psikologi rohani tidak mengenal prestasi. Yesus pun bukan untuk berprestasi melaksanakan tugas perutusan-Nya, baik di hadapan Raja Yahudi, Pembesar Romawi di Palestina, maupun berhadapan dengan ahli-ahli Taurat dan Kitab Suci.

Bila masa puasa kristiani dapat menolong kita untuk ikut bangkit bersama Kristus menuju kepada kesadaran kita sebagai orang lemah dan berdosa, hasil itu bukan prestasi puasa atau matiraga kita, melainkan anugerah belaskasih Allah semata-mata.
Bila kita secara manusiawi dan kristiani ingin sungguh bergembira dalam hati atas perubahan batin yang dapat kita peroleh, maka kegembiraan itu bukan sebagai hasil prestasi kita sendiri, melainkan berkat keyakinan dan kesadaran kita, bahwa terhadap Tuhan kita harus selalu rendah hati.
           
Puasa dan pantang bentuk apapun tiada gunanya, bila bukan kita laksana-kan sebagai  sebagai ungkapan kerendahan hati. Inilah yang disebut pertobatan sejati. Orang yang sungguh bertobat tahu menempatkan dirinya, baik di  hadapan Allah, maupun juga terhadap sesama kita, siapa pun mereka itu?
Jangan sampai di hadapan Tuhan  kita, yang berkat baptis adalah sama-sama putera-puteri Allah, merasa lebih tinggi dari pada orang lain!  Yesus bukan menghindari atau menjauhi orang-orang kecil, orang-orang lemah dan berdosa, sebaliknya justru mendekati mereka sebagai sesama manusia. Adalah suatu dekristenisasi atau kekristenan palsu apabila kita tampak berpuasa dan berpan-tang, namun tidak tampak pula dalam sikap dan perlakuan kita terhadap sesama.
Jakarta, 16 Februari 2010

Minggu Biasa V/C/2010 - 07 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU BIASA V/C/2010
07 Februari 2010

Yes 6:1-2a.3-8   1 Kor 15:1-11   Luk 5:1-11

PENGANTAR

          Hasil penangkapan ikan luarbiasa bagi Petrus merupakan bukti, yang meyakinkan dirinya. Maka ia tersungkur di depan Yesus dan berseru: “Tuhan, tinggalkanlaha aku, karena aku ini orang berdosa”. Tetapi seruan Petrus dijawab Yesus: “Jangan takut! Mulai sekarang engkau akan menjala manusia”!

HOMILI     

          Bagi orang “modern” atau “maju” istilah “penjala/penangkap manusia” atau “gembala domba” yang dipakai Yesus untuk menyebut rekan-rekan kerja-Nya  (co-workers), para rasul, terdengar kurang sedap, sebab dirasakan mengurangi martabat atau kedudukan hidup dan karyanya untuk zaman ini. Dewasa ini orang tak suka “ditangkap”, “dijala” orang lain, apalagi menjadi bagian dalam kelompok domba! Kiranya istilah injili yang dipakai Yesus itu membutuhkan keterangan.
          Penangkap ikan maupun gembala pertama-tama memikirkan kebutuhannya sendiri, bukan kebutuhan ikan maupun dombanya. Gembala bukan memikirkan dan menggembalai domba untuk kepentingan domba-nya, melainkan untuk hidupnya sendiri: untuk memperoleh susu, bulu/ wol dan bahan makan. - Makna penangkap ikan/gembala domba dalam Injil ternyata justru sebaliknya. Penangkap ikan alkitabiah bertujuan melayani ikan-ikannya, dan gembala justru berkorban demi dombanya, bahkan mengorbankan hidupnya. Manusia “ditangkap”, “dijala”, bukan karena kesalahan atau kejahatannya, melainkan justru untuk diselamat-kan!
          Ibaratnya, kita naik kapal, dan kapal itu di tengah laut diterjang ombak hebat, kapal hancur dan kita terapung-apung di tengah ombak, lalu datanglah orang-orang membawa tali atau papan untuk menyelamatkan kita. Maka mereka “menangkap” kita bukan untuk merendahkan diri kita, sebaliknya untuk menawarkan harapan untuk dapat hidup. Itulah makna istilah penangkap atau penjala manusia alkitabiah. Mereka menolong penyelamatan manusia di tengah ombak badai hidup, dan membantu siapapun yang mengalami bahaya maut.
          Perlu direnungankan lebih mendalam! Mengapa ada orang yang berperan sebagai penangkap ikan, tetapi yang lain sebagai ikan? Atau ada yang tampil sebagai gembala, ada pula sebagai domba? Latar belakang masalah ini disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian tentang hubungan/relasi dan perasaan di antara penangkap ikan dan ikan, di antara gembala dan domba. Seakan-akan di antara mereka ada ketidaksamaan, ketidaksetaraan, superioritas, minoritas.
          Pada dasarnya tidak seorang pun ingin berada sekadar menjadi suatu nomor belaka dalam suatu kelompok. Tetapi kita harus berani membebaskan diri dari praduga atau anggapan tak sehat. Dalam Gereja, yakni murid-murid Yesus, tidak seorang pun adalah hanya seorang penangkap iman belaka atau seorang gembala. Kita ini sebenarnya,  seca-ra aneka ragam dan bentuk yang berlainan, adalah sama. Seseorang bukan hanya seorang dokter, ia sekaligus adalah seorang bapak dalam keluarga, dan anggota suatu organisasi! Hanya Kristus sendirilah yang hanya penangkap ikan dan bukan ikan, hanya gembala dan bukan domba!
          Petrus sendiri, sebelum menjadi penangkap manusia harus “ditangkap” dulu oleh Yesus, dan itu berkali-kali. Misalnya ia harus “ditangkap” pada waktu akan tenggelam, ketika berjalan di atas air dan merasa takut. Petrus “ditangkap” juga ketika ia tidak mau mengakui Yesus sebagai Gurunya. Petrus ternyata harus mengalami sendiri apa artinya merasa sendiri sebagai “domba yang hilang”. Dengan demikian ia belajar apa artinya menjadi gembala yang baik. Petrus harus “ditangkap”, diselamatkan dari kedalaman kekecewaan atas ketidakberhasilan jerih payah semalam suntuk di laut. Yesus “menangkap” Petrus, menyelamatkannya dari ketidakberhasilannya dengan berkata: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan”. Petrus belajar dari pengelamannya sendiri untuk menjadi penangkap manusia yang baik.
          Demikianlah segenap orang kristen yang sudah dibaptis adalah seperti Petrus, sebagai orang yang ditangkap/dijala bagaikan ikan, namun sekaligus menjadi penangkap ikan juga, masing-masing menurut keadaannya sendiri. Imam adalah penangkap ikan melalui pewartaan sabda Allah dan pemberian sakramen. Kaum awam pun adalah penangkap ikan bagi orang lain melalui hidup dan pekerjaan/karya mereka untuk “menangkap”, menyelamatkan orang lain dalam bahaya hidupnya.
          Dalam Injil ditulis, bahwa Petrus dan teman-temannya minta orang–orang lain untuk membantu mereka, sebab hasil penangkapan ikan mereka sangat besar! Dalam Tahun Imam ini, Gereja mengajak kaum awam untuk ikut membantu pelaksanaan tugas karya “penangkapan ikan” dan “penggembalaan” para imam. Sebab hasil penangkapan ikan kita besar!
Amin.

Jakarta, 6 Februari 2010
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...