Minggu Paska III C/2010
Kis 5:27b-32.40b-41 Why 5:11-14 Yoh 21:1-19
PENGANTAR
Ceritera Injil Yohanes hari ini
memuat 2 pesan kepada kita: pertama , keberhasilan penangkapan ikan
berkat perintah Yesus; kedua , syarat mutlak yang dituntut Yesus untuk
menjadi seorang pemimpin yang sungguh baik. Dalam kebersamaan kita dalam
perjamuan Ekaristi sekarang ini, di mana Yesus yang dahulu berbicara
kepada Petrus, sekarang pun hadir di tengah kita. Marilah kita menaruh
perhatian kita kepada pesan-Nya yang kedua , yaitu bagaimana kita dapat
menjadi seorang pemimpin yang baik.
HOMILI
Sesudah bangkit, Yesus tetap ada
di antara murid-murid-Nya, namun dengan cara kehadiran atau kebersamaan
yang lain. Murid-murid-Nya itu selanjutnya kembali melakukan pekerjaan
mereka sehari-hari, tidak lagi ber-sama Yesus secara tampak. Tetapi
ternyata Yesus yang memanggil mereka untuk mengikuti Dia, sesudah
bangkit pun terbukti tetap setia bersama dengan mereka, juga dalam hidup
sehari-hari. Pendek kata, dalam ceriteranya tentang penangkapan ikan
itu, Yohanes mau menunjukkan kasih dan kesetiaan Yesus kepada
murid-murid-Nya, baik dalam kegembiraan maupun dalam kesulitan hidup
mereka sehari-hari.
Secara khusus perhatian Yesus
ditujukan kepada Simon Petrus, yang akan dijadikan Wakil-Nya yang
pertama di dunia ini. Sesudah memperli-hatkan kesetiaan kasih-Nya kepada
Petrus dan teman-temannya dalam penangkapan ikan, Yesus bertanya kepada
Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah Engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?"
Inilah Petrus yang sebagai murid-Nya pernah menyangkal Gurunya, namun
kemudian menyesal dan menyerahkan dirinya kepada Yesus. Tiga kali Yesus
bertanya dan memberikan perintah kepadanya. Sungguh suatu pertanyaan penentu hidupnya !
Mengasihi Yesus "dari pada mereka", atau "dari pada yang lain-lain",
dapat berarti mengasihi jala, perahu, atau pekerjaannya sebagai
penangkap dan penjual ikan. Tetapi sebenarnya pertanyaan Yesus,
yang sampai tiga kali itu menembus sampai pada lubuk hati Petrus yang
paling dalam. Pertanyaan Yesus ditujukan kepada sikap dan keadaan dasar
setiap manusia, yang merupakan akar dan sumber segala dosa, yaitu
kesombongan .
Mengapa pertanyaan tentang kasih
kepada Yesus itu sampai dilakukan 3 kali kepada Petrus, padahal
ditanyakan Yesus sebagai syarat untuk memimpin, menggembalahi
pengikut-pengikut-Nya. Mengapa bukan perta-nyaan-pertanyaan lain?
Misalnya: Simon, tahu dan sadarkah kamu akan tanggung jawab berat yang
harus kamu pikul sebagai pemimpin? Ingatkah kamu akan kelemahan dan
catatan pengalaman hidupmu. Sanggupkah kamu memenuhi segenap tantangan
yang akan kamu jumpai dalam memimpin atau mendampingi orang lain?
Di zaman kita sekarang ini
pegangan kepemimpinan adalah lain: efisiensi dan efektivitas, atau
dayaguna dan hasil, itulah syarat tertinggi untuk dapat bekerja secara
profesional. Harus ada kualifikasi kemampuan, tingklat akademik,
pengalaman kerja sebelumnya, suskes dalam relasi publik. Memang
pertanyaan tentang hal-hal ini sangat penting untuk pelbagai
kepemimpinan efektif dewasa ini.- Tetapi Yesus menyatukan dan merangkumkan segalanya itu dalam hanya satu pertanyaan: "Simon, apakah kamu mengasihi Aku?" Pertanyaan ini langsung menembus hati Petrus!
Jadi kunci kualifikasi
kepemimpinan dan pelayanan kepada siapapun atas nama Yesus Kristus,
ialah kasih kepada Tuhan, dan berciri dengan kerendahan hati, ketaatan
dan kesetiaan kepada-Nya. Petrus sebenarnya sudah menghormati dan
menghargai pribadi Yesus, tetapi ia masih belum bebas dari kepentingan
diri sendiri. Selama sikap dasar kesombongan ini masih ada, komunitas
apapun yang dipimpin atau dilayani akan goncang atau roboh. Petrus
diingatkan kepada kenyataan ini: Yesus berbuat baik kepada bangsa-Nya
sendiri, namun Ia disalib. Bukankah hal serupa itupun terjadi juga di
dalam keluarga, lembaga, organisasi, bahkan negara?
Petrus yang sama inilah, sesudah
harus belajar dan mengalami sendiri apa yang ditanyakan Yesus
kepadanya, menulis dalam suratnya kepada umat sebagai berikut: "Gembalakanlah
kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan
sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari
keuntungan, melainkan dengan pengabdian diri...Hendaklah kamu menjadi
teladan bagi kawanan domba itu" (lih. 1 Ptr 1-4). Kasih sejati selalu rendah hati, bukan sombong. Kepemimpinan sejati adalah kerendahan hati. Amin.
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
Jakarta, 17 April 2010