Antara Etika vs Pandai Matematika

Mengajarkan anak beretika sejak dini lebih baik dari pada mengajarkan etika diusia dewasa.

Alkisah Sebuah Pohon Alpukat dan Benalu

Setiap orang yang meremehkan dosa kecil sekalipun, akan terjerat oleh dosa yang lebih besar lagi.

Sekawanan Angsa dan Badai Salju

Jika aku bisa menjadi salah satu dari mereka, maka aku pasti bisa menyelamatkan mereka.

Kisah Anak Penyemir Sepatu

Mulai sekarang, tidak ada satupun yang tidak ingin saya buat bagi Bapak. Semuanya saya mau lakukan untuk menyenangkan hati Bapak

Prosedur Perkawinan Gereja Katolik

Jika Anda adalah pasangan yang akan menerimakan Sakramen Perkawinan, atau akan menikah secara Katolik maka silahkan membaca artikel ini.

Tahun Kerahiman

Tahun Kerahiman

Minggu Paska IV C/2010

Minggu Paska IV C/2010
Kis 13:14.43-52 Why 7:9.14b-17 Yoh 10:27-30

PENGANTAR
Dalam Injil Yohanes (Yoh 21:15-19), Minggu lalu, sebelum Yesus mengangat Petrus untuk mengambil alih tugas-Nya sebagai Gembala, Ia ingin mengetahui kesungguhan kasihnya kepada diri-Nya. Pada dasarnya Yesus mau menegaskan, bahwa kepemimpinan apapun, secara simbolis dalam bentuk penggembalaan kawanan domba, harus berlandasan pada kasih. Gembala yang baik adalah gembala yang mengasihi dombanya, seperti Kristus yang mengasihi domba-domba-Nya, sampai Ia rela mengorbarkan hidup-Nya bagi mereka. Injil hari ini menerangkan apa sebenarnya bersikap dan berbuat sebagai gembala.
 
HOMILI
Sejak dalam Perjanjian Lama tokoh-tokoh pemimpin Israel digam-barkan sebagai gembala. Misalnya leluhur mereka seperti Abraham, Ishak, Yakub. Juga pemimpin bangsa, misalnya Musa dan Daud. Dalam Mazmur yang disukai orang didoakan: "Tuhanlah gembalaku" (Mz 23). Kemudian dalam Perjanjian Baru Yesus sendiri meneruskan gambaran tentang gembala itu pada diri-Nya sendiri (lih. Yoh 10:1-21). 

Dalam Injil pendek hari ini (Yoh 10:27-30) dikemukakan dua ciri khas Yesus sebagai gembala. Pertama : gembala dan domba saling mengenal. "Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku, Aku mengenal mereka, dan mereka mengikut Aku". Dengan demikian adalah hubungan erat antar mereka. Kedua : gembala memberikan hidupnya kepada mereka dan demi mereka! Tiada orang atau apapun lainnya bisa memisahkan mereka. Domba-domba merasa aman, mereka adalah sasaran kasih dan keprihatinan gembalanya, bukan sekadar sebagai hal-hal yang harus diurus dan dipelahara belaka. Segala perhatian gembala tertuju kepada kawanan dombanya. Apa pesan Injil hari ini kepada kita? 

Dalam Injil hari ini kita diperkuat iman/kepercayaan kita! Kita percaya akan kasih Allah Bapa kita sebagai Gembala Agung, seperti terbukti dalam diri Yesus Putera-Nya! Apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, dengan segala kelemahan dan kekekurangannya, Allah Bapa dan Putera-Nya adalah Gembala kita, yang selalu bisa dipercaya sepenuhnya.

Kiranya ajaran dan pesan, yang disampaikan Yesus di dalam Injil Yohanes hari ini tersebut, dapat kita pahami dalam khotbah Paus Benedictus XVI dalam Misa Peresmian Jabatan Pelayanan Penggem-balaannya sebagai Wakil Kristus, di Roma tgl. 24 April 2005. Dalam homilinya sebagai Wakil Kristus seperti Petrus, Paus berkata:
"Salah satu ciri dasar seorang gembala ialah mengasihi umat yang dipercayakan kepadanya, sama seperti ia me-ngasihi Kristus, Yang dilayaninya. ' Gembalakan domba domba-Ku ', kata Kristus kepada Petrus. Dan sekarang ini Kristus mengatakannya pula kepadaku. Menggemba-lakan berarti mengasihi, dan mengasihi juga berarti ber-sedia menderita. Mengasihi berarti memberikan kepada domba apa yang sungguh baik, santapan kebenaran Allah, sabda Allah, santapan kehadiran-Nya, yang dibe-rikannya kepada kita dalam Sakramen Mahakudus".
Paus Benedictus XVI selanjutnya mengatakan, bahwa perumpamaan tentang gembala itu adalah gambaran tentang Kristus dan Gereja serta masyarakat. Umat manusia di dunia ini sering tidak tahu arah hidupnya, bagaikan domba yang hilang di tengah padang gurun. Putera Allah tak mau melihat dan membiarkan umat manusia hilang terlantar. Maka Ia meninggalkan kemuliaan-Nya di surga dan turun ke bumi mencari manusia yang hilang, sampai Ia rela diadili dan mati di salib. Itulah gambaran gembala yang baik! 

Pengembalaan semacam inilah yang harus merupakan cita-cita setiap gembala. Imam dalam Gereja Katolik disebut pastor, karena gembala dalam pastor Latin adalah "pastor". Tetapi model gembala yang baik bukan hanya berlaku bagi imam atau pastor, dalam arti yang dikenal umat. Menjadi gembala yang baik berlaku bagi setiap orang yang berperan sebagai pemimpin, pendamping, "leader", pembesar, kepala rumah tangga! Kebesaran pembesar adalah kasih dan pelayanannya! 

Pada akhir homilinya Paus Benediktus XVI berkata: " Doakan saya, supaya makin mengenal dan mengasihi domba-domba Kristus dengan semakin baik. Doakan saya, supaya saya tidak melarikan diri karena takut serigala yang menyerang domba-domba Kristus. Mari kita saling mendoakan".
 

Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
Jakarta, 24 April 2010

Minggu Paska III C/2010

Minggu Paska III C/2010
Kis 5:27b-32.40b-41 Why 5:11-14 Yoh 21:1-19

PENGANTAR
Ceritera Injil Yohanes hari ini memuat 2 pesan kepada kita: pertama , keberhasilan penangkapan ikan berkat perintah Yesus; kedua , syarat mutlak yang dituntut Yesus untuk menjadi seorang pemimpin yang sungguh baik. Dalam kebersamaan kita dalam perjamuan Ekaristi sekarang ini, di mana Yesus yang dahulu berbicara kepada Petrus, sekarang pun hadir di tengah kita. Marilah kita menaruh perhatian kita kepada pesan-Nya yang kedua , yaitu bagaimana kita dapat menjadi seorang pemimpin yang baik.
 
HOMILI
Sesudah bangkit, Yesus tetap ada di antara murid-murid-Nya, namun dengan cara kehadiran atau kebersamaan yang lain. Murid-murid-Nya itu selanjutnya kembali melakukan pekerjaan mereka sehari-hari, tidak lagi ber-sama Yesus secara tampak. Tetapi ternyata Yesus yang memanggil mereka untuk mengikuti Dia, sesudah bangkit pun terbukti tetap setia bersama dengan mereka, juga dalam hidup sehari-hari. Pendek kata, dalam ceriteranya tentang penangkapan ikan itu, Yohanes mau menunjukkan kasih dan kesetiaan Yesus kepada murid-murid-Nya, baik dalam kegembiraan maupun dalam kesulitan hidup mereka sehari-hari. 

Secara khusus perhatian Yesus ditujukan kepada Simon Petrus, yang akan dijadikan Wakil-Nya yang pertama di dunia ini. Sesudah memperli-hatkan kesetiaan kasih-Nya kepada Petrus dan teman-temannya dalam penangkapan ikan, Yesus bertanya kepada Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah Engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" Inilah Petrus yang sebagai murid-Nya pernah menyangkal Gurunya, namun kemudian menyesal dan menyerahkan dirinya kepada Yesus. Tiga kali Yesus bertanya dan memberikan perintah kepadanya. Sungguh suatu pertanyaan penentu hidupnya ! Mengasihi Yesus "dari pada mereka", atau "dari pada yang lain-lain", dapat berarti mengasihi jala, perahu, atau pekerjaannya sebagai penangkap dan penjual ikan. Tetapi sebenarnya pertanyaan Yesus, yang sampai tiga kali itu menembus sampai pada lubuk hati Petrus yang paling dalam. Pertanyaan Yesus ditujukan kepada sikap dan keadaan dasar setiap manusia, yang merupakan akar dan sumber segala dosa, yaitu kesombongan

Mengapa pertanyaan tentang kasih kepada Yesus itu sampai dilakukan 3 kali kepada Petrus, padahal ditanyakan Yesus sebagai syarat untuk memimpin, menggembalahi pengikut-pengikut-Nya. Mengapa bukan perta-nyaan-pertanyaan lain? Misalnya: Simon, tahu dan sadarkah kamu akan tanggung jawab berat yang harus kamu pikul sebagai pemimpin? Ingatkah kamu akan kelemahan dan catatan pengalaman hidupmu. Sanggupkah kamu memenuhi segenap tantangan yang akan kamu jumpai dalam memimpin atau mendampingi orang lain? 

Di zaman kita sekarang ini pegangan kepemimpinan adalah lain: efisiensi dan efektivitas, atau dayaguna dan hasil, itulah syarat tertinggi untuk dapat bekerja secara profesional. Harus ada kualifikasi kemampuan, tingklat akademik, pengalaman kerja sebelumnya, suskes dalam relasi publik. Memang pertanyaan tentang hal-hal ini sangat penting untuk pelbagai kepemimpinan efektif dewasa ini.- Tetapi Yesus menyatukan dan merangkumkan segalanya itu dalam hanya satu pertanyaan: "Simon, apakah kamu mengasihi Aku?" Pertanyaan ini langsung menembus hati Petrus! 

Jadi kunci kualifikasi kepemimpinan dan pelayanan kepada siapapun atas nama Yesus Kristus, ialah kasih kepada Tuhan, dan berciri dengan kerendahan hati, ketaatan dan kesetiaan kepada-Nya. Petrus sebenarnya sudah menghormati dan menghargai pribadi Yesus, tetapi ia masih belum bebas dari kepentingan diri sendiri. Selama sikap dasar kesombongan ini masih ada, komunitas apapun yang dipimpin atau dilayani akan goncang atau roboh. Petrus diingatkan kepada kenyataan ini: Yesus berbuat baik kepada bangsa-Nya sendiri, namun Ia disalib. Bukankah hal serupa itupun terjadi juga di dalam keluarga, lembaga, organisasi, bahkan negara? 

Petrus yang sama inilah, sesudah harus belajar dan mengalami sendiri apa yang ditanyakan Yesus kepadanya, menulis dalam suratnya kepada umat sebagai berikut: "Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, melainkan dengan pengabdian diri...Hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu" (lih. 1 Ptr 1-4). Kasih sejati selalu rendah hati, bukan sombong. Kepemimpinan sejati adalah kerendahan hati. Amin.
  

Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
Jakarta, 17 April 2010

Minggu Paska II C/2010

Minggu Paska II C/2010
"MINGGU KERAHIMAN ILAHI"
Kis 5:12-16 Why 1:9-11a.12-13.17-19 Yoh 20:19-31

PENGANTAR
Dalam Tahun Yubileum 2000, ketika Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 30 April 2000 memimpin Misa Kudus di Roma untuk kanonisasi seorang Suster Polandia, St. Faustina Kowalska (1905-1938), dalam homilinya mengatakan: "Adalah penting, bahwa kita menerima pesan sabda Allah pada Hari Minggu Paskah Kedua ini, yang sejak saat ini di seluruh dunia akan disebut Minggu Kerahiman Ilahi". Marilah pada Hari Minggu Oktaf Paskah, atau Minggu Paskah Kedua, yang sebagai kelengkapannya disebut Minggu Kerahiman Ilahi ini, kita mendengarkan pesan Kristus, yang telah bangkit tentang kerahiman Allah Bapa kepada kita lewat Putera-Nya seperti tercantum di dalam Injil Yohanes.
 
HOMILI
Dalam Injil Yohanes hari ini sebenarnya ditampilkan juga kepada kita tokoh Thomas atau Didymus, yang menurut kata aslinya berarti "orang kembar". Dalam diri Thomas itu kita bisa menemukan gambaran diri kita sendiri, sebagai orang yang resminya mengakui diri sebagai "orang beriman", namun dalam kehidupan kita masih mengalami banyak keragu-raguan atau ketidakpastian. Pada hari ini marilah kita dalam suasana Paskah mengarahkan perhatian kita kepada "kerahiman ilahi", yang sesuai dengan tema persiapan Prapaskah di KAJ ini: "Mari bekerjasama melawan kemiskinan". Kemiskinan dalam segala bentuknya merupakan sasaran gerak kerahiman Allah! 

Minggu ini adalah Hari Oktaf Paskah, yang merayakan belaskasihan Allah, yang menyinari dan menjiwai intisari atau misteri Paskah yang begitu mendalam! Dalam Misa kanonisasi St. Faustina Paus Yohanes Paulus II dalam homilinya berkata: "Yesus menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada murid-murid-Nya. Ia menerangkan bahwa luka-luka yang diderita-Nya, khususnya luka pada hati/jantung-Nya, adalah sumber belaskasihan-Nya yang mengalir kepada segenap umat manusia". 

Patut diperhatikan, bahwa bukan St. Faustinalah yang dikhususkan! Apa yang ingin dihidupkan kembali oleh Paus Yohanes Paulus dalam Minggu Paskah II ialah ajaran St. Agustinus tentang makna oktaf Paskah, yang disebutnya sebagai "hari-hari belaskasihan dan pengam-punan". Sedangkan Minggu Oktaf Paskah itu disebut sebagai " rangkuman hari-hari penuh belaskasihan" .
Apakah yang dapat kita terima dari Injil Yohanes hari ini? 

Ketika bertemu dengan Thomas, Yesus berkata kepada Thomas yang belum percaya, bahwa Ia telah bangkit: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku..." . Yohanes tidak menceriterakan, bahwa Thomas melakukan apa yang dikatakan Yesus. Thomas itu segera berkata " Ya,Tuhanku dan Allahku!". Ternyata lambung Yesus yang tertikam , sebagai sumber belaskasihan Allah, - itulah akhirnya yang meyakinkan Thomas, bahwa Yesus Kristus adalah sungguh Tuhan dan Allah, yang diimaninya. 

Kita sebagai umat beriman pada dasarnya memang resmi percaya kepada Yesus yang telah bangkit. Kita percaya bahwa Yesus telah mendirikan Gereja-Nya, termasuk kita semua. Sudah duapuluh abad lamanya Yesus yang bangkit selalu menyertai Gereja-Nya. Tetapi masih berapa milyar penduduk dunia kita ini yang belum mengenal "Dia Yang Bangkit". Seperti Thomas bagaimana mereka dapat melihat dan percaya akan kehadiran Pribadi Kristus sekarang ini juga? - Gereja , yakni segenap umat kristiani yang sungguh percaya kepada Kristus, dapat memperkenalkan Dia juga dengan menunjukkan belaskasihan-Nya kepada se-mua orang

Belaskasihan Ilahi adalah cuma-cuma, tanpa perhitungan, bagaikan lambung yang ditikam dan mengalirkan darah belaskasih tanpa batas! Belaskasihan Ilahi inilah yang harus menjadi kesaksian kesungguhan kehadiran dan perutusan Gereja sejati. Belaskasihan kepada sesama tanpa perhitungan, - itulah bukti dan kesaksian iman kepercayaan otentik kita!


Mgr F.X Hadisumarta O.Carm 
Jakarta, 10 April 2010

Hari Raya Paskah C/2010

Hari Raya Paskah C/2010
Kis 10:34a. 37-43 Kol 3:1-4 Yoh 20:1-9


PENGANTAR
Berita tentang kebangkitan Kristus didalam Injil karangan Markus, Matius, Lukas dan Yohanes cukup bervariasi. Tetapi pada dasarnya keempat Injil itu mewartakan inti kabar gembira yang sama, yaitu bahwa Yesus dari Nasaret, seperti ditegaskan oleh Petrus dalam Kisah Rasul, "telah dibunuh dan digantung di kayu salib" telah bangkit kembali. Dalam Injil Yohanes hari ini akan tampak, bahwa hanya orang yang memiliki mata kasih dapat memahami kematian dan kebangkitan Yesus sebagai ungkapan kasih yang tiada batasnya.

HOMILI
Dalam ceritera tentang kebangkitan Kristus itu tampaklah luar biasa peranan kasih yang dimainkan dalam kisah tentang kebangkitan ini. Maria Magdalena yang telah dibebaskan Yesus dari 7 setan, begitu mengasihi Yesus, datang sebagai yang pertama ke makam Yesus. Tetapi ia melihat makam itu kosong! Memang kasih selalu mencari orang yang dikasihinya. Kasih selalu pertama-tama memperhatikan orang yang dikasihinya. Dalam Injil hari ini diceriterakan, bahwa kedua murid Yesus, yaitu Petrus dan Yohanes juga datang ke makam Yesus. Petrus yang masuk lebih dulu, sebab ia adalah pemimpin para murid yang harus menjadi saksi utama tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Tetapi Yohanes, yang disebut "yang dicintai Yesus" adalah yang pertama percaya bahwa Yesus telah bangkit, kasih selalu lebih peka dan lebih cepat melihat dan menafsirkan setiap tanda yang menyangkut keadaan orang yang dikasihinya. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa kasih memainkan peranan begitu sentral dalam peristiwa Paskah, yaitu ketika murid-murid Yesus menemukan kebangkitan Yesus! Seluruh peristiwa Paskah, yaitu wafat dan kebangkitan Yesus merupakan suatu pernyataan kasih kepada manusia. Dalam kebangkitan Yesus tampaklah besarnya kasih Allah bagi setiap orang yang mempunyai mata dan bisa melihat! Memang, orang yang bisa atau mampu melihat, hanyalah orang yang memiliki mata kasih . Kasih Allah hanya dapat dilihat dan dipahami secara benar oleh orang yang mencintai Yesus secara benar pula! Sebaliknya orang-orang yang membenci Yesus, yang mengikuti dan menyetujui keputusan mahkamah agung agama Yahudi, dan yang menyerahkan Yesus kepada Pilatus untuk membinasakan Dia, - mereka ini ketika mendengar bahwa makam Yesus kosong, merasa cemas dan khawatir, bahwa seluruh usaha mereka menyingirkan Yesus gagal total. Mereka mencari fitnah, dan mengabarkan, bahwa murid-murid Yesus mencuri jenazah-Nya, untuk mematikan kembali Yesus dan perutusan-Nya. 

Hanya kasihlah yang dapat memahami makna kebenaran Paskah. Artinya, agar kita dapat memahami kematian dan kebangkitan Yesus sebagai ungkapan dan pernyataan kasih ilahi kepada kita manusia, dan bukan sebagai batu sandungan atau kebodohan, maka Roh kasih Allah harus membuka dahulu mata kasih kita di dalam hati kita! 

Maka marilah kita bergembira, bahwa kita memiliki iman, dan kita patut bersyukur kepada Tuhan, karena Ia telah membuka mata kasih kita. Dengan mata kasih itu, sebagai dimiliki oleh Yohanes, murid Yesus, kita dapat menerima, mengalami dan melihat kasih Allah yang luarbiasa kepada kita lewat Yesus Kristus Putera-Nya.. 

Janganlah kita lupa pula berdoa bagi semua orang, agar mereka pun sanggup melihat dan menerima kebenaran kasih Allah dalam diri Yesus Kristus. Semoga mereka semua akhirnya juga percaya dan ikut mengalami kegembiraan Paskah seperti kita sendiri. Iman yang teguh akan kasih Allah kepada semua orang, yang juga berbagi kasih dalam diri Yesus Kristus kepada segenap sesama kita. Itulah intisari makna kebangkitan Yesus Kristus, yang kita rayakan. Amin.


Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
Jakarta , 4 April 2010.

Malam Paskah C/2010

Malam Paskah C/2010
Rm 6:3-11 Luk 24:1-12


PENGANTAR
Lukas dalam Injil karangannya menceriterakan " Kebangkitan Kristus " dalam tiga tahap: 1. Tentang makam yang kosong (ay. 1-12). 2. Ten-tang pengalaman dan percakapan dua murid Yesus dengan Kristus yang su-dah bangkit (ay.13-35). 3. Tentang kehadiran Yesus Kristus yang bangkit di tengah murid-murid-Nya. Dan sekarang pun Kristus yang satu dan sama, yang telah bangkit itu, hadir juga di tengah-tengah kita yang merayakan-Nya
 
HOMILI
Orang-orang perempuan: Maria Magdalena, Yohana, Maria ibu Ya-kobus, dan beberapa lainnya, melihat makam Yesus kosong. Mereka itu di-sapa dua orang yang berkata: "Mengapa kamu mencari Dia, yang hidup di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit" . Sapaan dan penegasan kedua orang kepada perempuan-perempuan itu juga ditujukan kepada kita. Ternyata peristiwa dramatis dan tragis yang terjadi dalam Jumat Suci tidak berakhir dengan kematian Yesus! Ternyata sejarah penyelamatan umat manusia, yang ditulis Tuhan belum selesai. Masih ada hari esok, bukan hanya hari kemarin. Makam orang mati bukanlah tempat terakhir bagi manusia! Sapaan dan penegasan kedua orang di makam Yesus kepada perempuan-perempuan itu mengubah kesedihan mereka menjadi kegembiraan. Kegembiraan mereka itu harus diteruskan dan bergema di da-lam hati kita sekarang ini juga! 

Malam Paskah ini bagi kita harus menjadi peringatan, undangan dan ajakan untuk menyakinkan dan menyadari, bahwa apa yang terjadi 20 abad lalu, yaitu kebangkitan Kristus, sekarang pun terjadi. Kita ini ibaratnya adalah perempuan-perempuan yang juga mendengar: "Ia, Yesus, sudah bang-kit!" Sangat mengherankan, bahwa saksi-saksi pertama tentang Yesus yang telah bangkit bukanlah murid-murid yang kemudian menjadi Rasul-Rasul-Nya. Bahkan tertulis: "Bagi mereka (murid-murid Yesus) perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu". Di sini terbuktilah, bahwa makna keselamatan manusia lewat penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus bukan tergantung pada kemampuan budi, otak, kepandaian, kedudukan atau jabatan, melainkan pada iman/kepercayaan! 

Seperti dalam tulisan "Renungan Paskah", Mgr. I. Suharyo, Uskup Koajutor KAJ, dalam harian KOMPAS, Sabtu, 3 April 2010, ini mengajak kita untuk "mengaktualkan 'Ingatan Bersama' " akan apa yang sudah per-nah kita yakini dalam iman kita. Demikianlah yang dialami pengikut-pengikut Yesus ketika menghadapi kebangkitan-Nya. Yesus sudah menegas-kan, bahwa Ia harus menderita dan mati, namun akan bangkit kembali. Ternyata perempuan-perempuan seperti Maria Magdalena dan beberapa lainnyalah yang ingat akan kata-kata Yesus, sedangkan calon-calon rasul-Nya justru tidak! Memang, kebangkitkan hanya mungkin bagi orang yang percaya, bukan tergantung dari kemampuan, bakat dan kedudukan apapun juga. 

Bukankah kebangkitan Yesus begitu berarti bagi hidup kita, baik bagi kita pribadi/perorangan maupun dalam hidup dan karya kita bersama? Berkali-kali kita menghadapi batu penutup makam kesulitan hidup kita. Kerapkali tiada orang dapat menolong menggulingkannya, dan kita kehilangan harapan. Mengapa? Karena harapan kita tidak berlandasan pada iman sejati/otentik. Iman kita hanya percaya kepada hal-hal yang besar, hebat, mukjizat . Padahal iman sejati menuntut kepercayaan, penyerahan diri dan keataatan, bukan perhitungan

Di tengah Gereja Makam Suci di Yerusalem terletaklah makam Yesus dan sekaligus tempat kebangkitan Kristus. Tetapi Kristus tidak ada di sana. Ia ada di tengah-tengah kita! Di sekitar dan di sekeliling Makam Suci di Yerusalem masih tersimpan dan sampai sekarang masih ada dan terjadi sisa-sisa pertentangan, pertengkaran, permusuhan, hari demi hari. Tetapi malam hari ini, pada saat Kristus menghancurkan genggaman maut, kita dalam hati yang percaya dan yakin, bahwa Allah akhirnya adalah pemenang atas segalanya! Kita diajak meyakinkan diri, dan percaya dengan segenap hati, bahwa bagaimana pun juga di sekeliling Makam Suci Yesus di Yerusalem di seluruh dunia masih ada makam-makam yang kosong. Di mana-mana kebangkitan Yesus membuka dan menggulingkan batu-batu penutup makam kita semua untuk ikut bangkit bersama Dia. 

Apa pesan Paskah kepada kita sekarang ini? Bagi kita di Paroki MBK, di KAJ, " marilah kita bangkit bersama untuk bekerja sama melawan kemiskinan!". Mari kita menggulingkan batu-batu penutup makam kita, agar dapat bangkit menjadi pengikut Yesus Kristus sejati. Amin.

 
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
Jakarta, 3 April 2010

KAMIS PUTIH C/2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm

KAMIS PUTIH C/2010
          Kel 12:1-8. 11-14   1 Kor 11:23-26   Yoh 13:1-15

PENGANTAR

          Menurut Kitab Suci dan Tradisi Yahudi serta Kristiani, makan bersama atau perjamuan makan bukanlah sekadar memenuhi kebutuhan kesehatan tubuh, atau untuk menikmati makan lezat, maupun untuk merayakan hari-hari peringatan khusus, melainkan sebagai suatu pertemuan atau perjumpamaan penting bukan hanya di antara sesama manusia, tetapi sekaligus di antar manusia dalam hubungannya dengan Allah! Suatu pertemuan di antara apa yang manusiawi dan yang ilahi! Dan dalam Perjanjian Baru (PB) ada begitu banyak yang dilakukan Yesus, seperti pewartaan, pelayanan dan perbuatan-Nya yang lain, teruitama pada kesempatan perjamuan makan! Dalam PB diceriterakan tentang Yesus dalam perjalanan-Nya dan bertemu dengan banyak orang: kaum Lewi, orang-orang dagang, Simon orang Farisi, Lasarus dan saudari-saudarinya di Betania, Zakheus, orang-orang masyarakat yang tersingkir, perwira Romawi dan murid-murid-Nya. 

          Tetapi pada akhirnya dalam Perjamuan Terakhir, Yesus berpamin-tan dari murid-murid-Nya dan dari kita dengan memberikan anugerah-Nya yang paling berharga: Ekaristi. Hari ini secara khusus kita meraya-kan Pesta Kamis Putih, memperingati Yesus mengadakan Sakramen Pemberian Diri, Sakramen bagi diri kepada segenap murid-Nya.

HOMILI
          Ekaristi berlatar belakang perayaan Paskah Yahudi, untuk meraya-kan pembebasaan dari perbudakannhya di Mesir. Perayaan inilah yang dipakai Yesus untuk pembebasan Israel Baru, yaitu kita semua. Makna baru perjamuan Paskah ini diteruskan oleh Paulus dalam suratnya, yang telah kita dengarkan (Bac.1: 1 Kor 11:23-26). Dalam Injil Mat. Mrk dan Luk diceriterakan bagaimana Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir (institusi Ekaristi). Sedangkan Yohanes dalam Injilnya dalam Misa kudus ini ingin lebih menampilkan tokoh Yesus sebagai Guru, yang berlutut di hadapan murid-murid-Nya, untuk membasuh kaki mereka. Sebagai Guru, sebagai Bapak yang melayani murid-murid dan anak-anaknya dengan sikap dan gaya pelayanan serta kerendahan hati!

          Dengan perbuatan-Nya itu Yesus mau mendidik murid-murid-Nya, bahwa pembebasan dan hidup merdeka baru, yang diberikan-Nya kepada kita, bukan dilakukan-Nya hanya dengan memerintah saja. Bukan dengan memerintah dari takhta kekuasaan, maupun dengan memberikan dana-dana resmi, yang diumumkan dan dipopulerkan, agar diketahui sebanyak mungkin orang. Tetapi dilakukan-Nya dengan berlutut membasuh kaki murid-murid-Nya. Artinya, Yesus juga membasuh kaki-kaki kita sekarang ini selama perjalanan hidup kita di dunia ini!

          Demikianlah pada malam suci ini Yesus mengadakan Ekaristi, yakni dengan memberikan darah-Nya sendiri, tetapi didahului dengan berlutut membasuh dahulu kaki murid-murid-Nya. Dengan berbuat demi-kian Yesus menciptakan suatu perjanjian atau ikatan yang baru, yang kuat dan dinamis dengan murid-murid-Nya, jadi juga dengan kita: yaitu perjanjian kesetiaan kasih ! Dengan memberikan daging dan darah-Nya sendiri Yesus bersabda kepada kita juga: “Seperti apa yang Kulakukan ini, harus kamu lakukan juga!”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, bahwa pembasuhan kaki tidak terpisahkan dari perayaan Ekaristi!Yang dilakukan Yesus pada malam suci pada waktu itu, yaitu pembasuhan kaki dan perjamuan malam, seperti disampaikan oleh para penulis Injil, merupakan pesan suci kepada kita sekarang ini juga! Kita sungguh dipanggil Yesus untuk mengasihi, melayani sampai dengan memberikan diri kepada sesama manusia! Berbuat seperti dilakukan Yesus sendiri.

          Dalam Perjamuan Terakhir Yesus mengajarkan kepada kita, bahwa otoritas dan kewibawaan dalam Gereja Kristus harus tampil sebagai pelayanan. Kesejatian (otentisitas) Gereja harus tampak dalam kesediaan mengorbankan hidup bagi sesama kita! Hidup Yesus adalah pesta bagi kaum miskin dan kaum berdosa! Hidup kita sebagai Kristus harus dihayati dengan menerima tubuh dan darah Kristus. Tetapi menerima Ekaristi juga berarti menjadi apa yang kita terima dalam Ekaristi. Dengan kata lain: menerima Ekaristi berarti menjadi Ekaristi bagi sesama! 

          Dengan demikian tampaklah, bahwa menghadiri Misa Kudus atau merayakan Ekaristi bukanlah sekadar suatu perbuataan, untuk memenuhi ibadat ritual resmi menurut peraturan Gereja. Menerima Ekaristi berarti sungguh mau mengambil bagian dalam karya penyelamatan Kristus. Menerima Ekaristi akan sungguh berarti, apabila kita merasa terdorong untuk hidup bersama dengan baik dan penuh kasih dengan sesama. Menerima Ekaristi berarti menyediakan kerelaan dan keinginan untuk menciptakan hidup komuniter, komunitarian, sebagai komunitas, di mana anggota-anggotanya sungguh saling memperhatikan dan menolong. Amin.

Minggu Palma - 28 Maret 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU PALMA C/2010
Luk 10:28-40  Yes 50:4-7  Flp 2:6-11  Luk 22:14-23:56 (Luk 23:1-49)

PENGANTAR
          Pada hari Minggu Palma ini kita mendengarkan dua ceritera Lukas tentang Yesus. Yang pertama sebelum misa pada kesempatan pemberkatan palma-palma untuk menyambut kedatangan Yesus yang memasuki Yerusalem sebagai Raja. Rakyat berseru: Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” (Luk 19:38).Yang kedua ialah Injil dalam Misa Kudus ini, yaitu kisah tentang penderitaan dan kematian Yesus di salib.- Dua ceritera Injil yang tampaknya seolah-olah bertentangan/kontras itu, ternyata sekaligus menunjukkan kepada kita arti kemenangan sejati Yesus sebagai Raja!

HOMILI
          Penuh gairah dan kegembiraan penduduk Yerusalem menyambut Yesus:“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja  dalam nama Tuhan!
Kemudian berturut-turut dalam kisah penderitaan Lukas, Yesus sesudah disambut begitu hangat sebagai Raja, diceriterakan urutan apa saja yang dilakukan dan dialami Yesus:
  1. Mengadakan sakramen Ekaristi dalam Perjamuan Malam (Luk 22:15-20).
  2. Percakapan dan pesan Yesus kepada murid-murid-Nya (Luk 22:21-38).
  3. Tuduhan dan perlakuan kekerasan kepada Yesus di hadapan Mahka-mah Agung (Luk 22:63-71). Kemudian di depan Pilatus (Luk 23:1-6)
  4. Yesus di hadapan Herodes dan dihadapan Pilatus untuk kedua kalinya (Luk 23: 7-16).
  5. Kata-kata yang disampaikan Yesus kepada perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus untuk disalib (Luk 23:27-32).
  6. Ucapan seorang penjahat yang juga digantung di salib (Luk 23:39-41).
  7. Kematian Yesus (Luk 23:46, 47b-49).
    
Dari ceritera Lukas itu tampillah tokoh atau sosok Yesus sebagai pembawa damai, yang mengatasi permusuhan dan kemarahan orang-orang Yahudi, dan seluruh proses penghakiman atas diri-Nya yang berlawanan dengan hukum. Yesus tampil sebagai model tokoh rekonsiliasi, pengampunan dosa dan damai. Di tengah perjuangan maut dan penghakiman atas diri-Nya itu tampaklah kerinduan hati Yesus, yang mau mendatangkan kesatuan/persatuan. Yesus ternyata mampu membuat Pilatus dan Herodes rukun menjadi sahabat (Luk  23:12). Tergantung di salib Yesus mengampuni orang-orang yang menganiaya-Nya (Luk 23:34), bahkan ketika menghadapi wafat-Nya Yesus berjanji akan membawa salah seorang penjahat ke Firdaus!
Dalam kisah kesengsaraan Yesus itu Lukas mau menunjukkan kepada kita, bahwa Yesus sungguh tak bersalah (Luk 23:4.14-15.22).Yesus adalah korban kekuasaan jahat (Luk 22:3.31.53).Yesus mati untuk memenuhi ke-hendak Bapa-Nya (Luk 22:42.46). Lukas menekankan betapa besar kasih, belaskasihan dan daya penyembuhan Yesus (Luk 22:51; 23:43). Yesus tidak berjalan sendirian menuju kematian-Nya, melainkan ditemani oleh orang-orang lain, yang mengikuti Dia memanggul salib hidup-Nya! (Luk 23:26-31.49).
Kisah sengsara Lukas memperlihatkan, bahwa palma kemenangan dan salib penderitaan bukanlah suatu pertentangan atau kontradiksi. Di sinilah letak intisari atau jantung hati misteri, yang diwartakan kepada kita selama Pekan Suci ini! Yesus merelakan  diri dengan sukarela untuk menderita. Ia bukan dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan apapun yang lebih perkasa daripada diri-Nya sendiri. Yesus secara sukarela menghadapi salib, tetapi dalam kematian-Nya ternyata Ia menang!
Lukas juga memperkenalkan model-model peranan kita sebagai orang yang percaya kepada Yesus. Yaitu suatu model sikap bagaimana kita dalam hidup kita masing-masing dapat menghayati penderitaan Yesus sebagai perjalanan menuju kebangkitan kita sendiri. Salah seorang teladan di antaranya adalah Simon dari Kirene, yang diminta membantu memikul salib Yesus (Luk 23:26). Sosok Simon ini adalah gambaran seorang murid Yesus: Simon memikul salib Yesus dan memanggulnya dengan “mengikuti Yesus”. Apa yang dilakukan oleh Simon dari Kirene itu adalah pelaksanaan dari apa yang dikatakan Yesus sendiri: “Barangsiapa tidak memikul salibnya, dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:27).
Marilah kita memasuki Pekan Suci ini dengan tekad dalam hati: Bila kita ingin hidup mengikuti jalan Yesus, kita harus mau dan bersedia menyediakan diri berbuat baik untuk kepentingan orang lain.

Jakarta, 28 Maret 2010

Masa Prapaskah V/C/2010 - 21 Maret 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU PRAPASKAH V/C/10
Yes  43:16-21  Flp 3:8-14  Yoh 8:1-11
PENGANTAR
          Dalam Injil menurut Yohanes hari ini mengenai wanita pendosa, yang menurut hukum Taurat (Im 20:10) harus dilempari batu, ada dua percakapan: yang pertama antara Yesus dan para ahli kitab dan kaum Farisi, dan yang kedua antara Yesus dan si wanita pendosa. Dalam kedua percapakan itu kita dapat memperoleh keyakinan, bahwa belaskasihan mengalahkan kelemahan. Sungguh suatu ceritera injili yang mengharukan hati kita, namun terutama merupakan sumber ketenangan dan damai di dalam hidup kita.

HOMILI
          Kita makin mendekati Pesan Suci (mulai dengan Minggu Palma), di mana kita akan melihat perjuangan Yesus sebagai Penyelamat melawan kejahatan manusia (penderitaan dan kematian di salib). Menurut ceritera Injil hari ini seorang wanita yang berbuat zinah dibawa kepada Yesus, supaya Ia mengatakan pendapat-Nya. Menurut hukum Taurat wanita itu harus dihukum mati. Ternyata Yesus tidak mau langsung menjawab, Ia membungkuk dan menulis di tanah. Mereka mendesak supaya Yesus segera menanggapi dan menentukan sikap-Nya terhadap wanita pendosa itu. Akhirnya Yesus berkata: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini!” Jawaban Yesus itu memperlihatkan kepada kita pengertian atau pandangan serta sikap Yesus yang sangat realistis terhadap kondisi manusia masing-masing. Maka orang-orang yang melaporkan perbuatan buruk orang lain itu akhirnya pergi dan mengundurkan diri satu per satu!
          Kemudian dalam tanggapan Yesus tersebut tampaklah sikap dan perlakuan manusiawi-Nya, yang begitu baik terhadap wanita, yang memang bersalah dan tidak dibenarkan dosanya, namun disertai pesan-Nya: “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang!” Yesus tidak mengusir dan mengutuk wanita itu! Yesus tidak membenarkan dosanya!
          Apakah pesan lain yang disampaikan Injil hari ini kepada kita dalam ceritera tentang wanita pendosa itu? Mengetahui dan menunjukkan kesa-lahan, kelemahan, dosa orang lain juga berarti kesediaan dan kejujuran untuk mengakui, bahwa dirinya sendiri pun adalah pendosa. Orang yang melihat dosa orang lain pun membutuhkan belaskasihan Tuhan! Mewartakan Injil atau Kabar Gembira Yesus Kristus kepada orang lain, tetapi tidak mengakui dan menyadari kekurangannya sendiri serta menghayati perto-batan pribadi yang mendalam, dan merasakan sendiri kebutuhannya akan belaskasihan Allah, - orang semacam itu, baik disadri atau tidak, sebenarnya menentang dan tidak menghayati pertobatan yang dituntut oleh Yesus Kristus sendiri!
         
Inilah yang disampaikan Yesus kepada para ahli Kitab dan kaum Fa-risi; mereka harus memeriksa diri, apakah mereka itu pun adalah pendosa. Dan ketika mereka semua pergi, Yesus tinggal sendirian dengan wanita pendosa itu. St. Agustinus, yang sebelumnya pun adalah pendosa besar, berkata: “Relicti sunt duo, misera et misericordia” (hanya tinggal dua: “yang menderita” dan “belaskasihan” - , yakni wanita pendosa dan Yesus yang berbelaskasihan). Betapa indah kata-kata Agustinus, yang semula adalah pendosa besar, namun kemudian menjadi imam, uskup, bahkan pujangga Gereja!
          Yesus memandang si wanita, Ia tidak minta aneka keterangan. Ia menatap dan menyapa dia: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang mengukum engkau?” Tanggapan Yesus sungguh mengagumkan: “Aku pun tidak mengukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai sekarang!” – Tuhan tidak mengutuk manusia, Tuhan mengutuk dosa! Lawan atau musuh kita terbesar ialah kecenderungan berdosa.
          Di dalam hati kita masing-masing, dalam keluarga, dalam lingkungan kerja, di dalam masyarakat, di dunia ini, bahkan dalam Gereja ada banyak dosa dan kenistaan. Dunia dan Gereja membutuhkan belaskasihan Allah! Kita semua membutuhkan komunitas, keluarga, persekutuan, yang berbelas-kasih, yang tahu dan mau saling berbelaskasihan!
          Marilah kita semua tidak berdosa lagi mulai sekarang! Marilah kita saling berbelaskasihan!  Mari membangun komunitas orang-orang yang saling menyadari kelemahannya sendiri, dan saling berbelas-kasihan.

Jakarta, 20 Maret 2010

Masa Prapaskah III/C/2010 - 07 Maret 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU PRAPASKAH III/C/10
07 Maret 2010
Kel 3:1-8a, 13-15   1Kor 10:1-6, 10-12   Luk 13:1-9

 PENGANTAR
          Segala sesuatu yang kita lakukan harus selalu diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menjelang perayaan kebangkitan Yesus yaitu Paskah, hidup kita sebagai orang Kristen diarahkan kepada pertobatan sejati. Untuk itu kita diajak mengadakan masa puasa dan pantang. Dalam Injil hari ini Yesus berkata:“Jikalau kamu semua tidak bertobat, kamu  pun akan binasa”.
  
HOMILI
          Pada suatu hari Yesus mendengar berita, bahwa di Galilea sejumlah orang beribadat dengan mengadakan korban. Rupanya terjadilah kekacauan, sehingga otoritas Romawi mengadakan tindakan keras dan membunuh sejumlah orang. Darah mereka dicampurkan dengan darah binatang-binatang korban. Orang mengira, orang-orang itu dibunuh, karena dosa-dosa mereka lebih besar dari pada orang-orang Galilea lainnya. Yesus menegaskan: Tidak! Bukan demikian! Banyak orang berpendirian, bahwa keadaan hidup yang buruh, termasuk bencana alamiah, disebabkan oleh dosa-dosa manusia (buku Ayub). Tetapi Yesus menegaskan bahwa semua orang adalah pendosa. Karena itu dibutuhkan pertobatan! Demikian pula isi berita tentang bencana lain di Yerusalem, di mana 18 orang mati karena ditimpa menara dekat Siloan yang jatuh roboh. Tidak ada hubungan langsung di antara peristiwa di Galilea dan di Yerusalem tersebut. Namun ada kesamaan ajaran dan pesan yang ingin disampaikan oleh Yesus, yakni tentang pertobatan. Penderitaan dan bencana, bahkan kematian yang dialami orang, bukanlah bukti bahwa mereka itu pendosa dan dosanya lebih besar dari lainnya!
          Memang ada pendosa-pendosa yang dihukum Tuhan di dunia ini. Tetapi adanya hukuman itu bukanlah bukti, bahwa dosa orang yang dihukum di dunia itu lebih besar atau berat dosanya! Yesus mau mengingatkan kita, bahwa hukuman yang sebenarnya ialah hukuman kekal sesudah kematian! Ukuran yang dipakai ialah sejauh mana setiap orang sungguh hidup dengan semangat bertobat.
          Yesus menggunakan perumpamaan tentang pohon ara. Setiap orang diseluruh dunia adalah pohon ara yang dimasudkan oleh Yesus. Semua orang adalah pendosa. Tetapi sekaligus Yesus menekankan, bahwa kerahiman atau belaskasihan Allah untuk mengampuni adalah tak terbatas! Meskipun demikian, manusia harus mempersiapkan diri untuk menerima kerahiman Allah. Waktu untuk persiapan itu, yakni waktu untuk hidup manusia sangat terbatas dan tidak sama. Tetapi kerahiman Allah adalah lebih besar dari pada besarnya dosa manusia!
          Tuhan tidak akan mengampuni dosa apapun, betapapun besar atau kecilnya, apabila tidak ada pertobatan. Yesus Kristus adalah pengantara Allah dan manusia. Tetapi Ia tidak akan menolong siapapun, apabila tidak ada pertobatan. Dengan kata lain, orang tidak akan diselamatkan, apabila ia tidak mau diselamatkan!
          Dalam perumpamaan tentang pohon ara dalam Injil hari ini pohon-pohon ara itu adalah orang-orang Yahudi, tetapi juga kita semua! Yang menanam adalah Tuhan Allah.  Dimaksudkan dan diharapkan agar pohon-pohon itu tumbuh, berkembang dan berbuah. Bila tidak berbuah, akan ditebang. Si pengurus kebun dalam perumpaan itu adalah Yesus. Yesus yang mau menyelamatkan pohon-pohon ara itu, yakni kita sekalian. Ia minta kepada Tuhan, agar diberi waktu secukupnya kepada kita untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik. Kita diberi kesempatan yang cukup  dalam hidup kita untuk berganti sikap, untuk sungguh serius terhadap nasib kekal kita kelak di kemudian hari. Apabila tidak berhasil, hal itu bukan disebabkan oleh ketidakadilan Allah, melainkan karena kesalahan kita sendiri. Maka pohon-pohon tak berbuah itu akan ditebang.
          Tuhan memberi waktu dan kesempatan kepada kita untuk berganti secara mendasar untuk sungguh mau hidup sebagai orang Kristen sejati. Kita diundang untuk sungguh-sungguh menyadari makna hidup kita sebagai orang kristiani yang sudah dibaptis. Dan dalam segala kelemahan kita, kita selalu diingatkan akan belaskasihan Allah yang tiada batasnya. Hidup beragama sejati, atau hidup rohani yang otentik bukanlah hidup semu atau hidup palsu. Hidup rohani sejati bukan sekadar melakukan ibadat atau ritualisme melulu!

Jakarta, 7 Maret 2010

Masa Prapaskah II/C/2010 - 28 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU PRAPASKAH II/C/2010
28 Februari 2010
Kej 15:5-12.17-18   Fil 3:17-4:1   Luk 9:28b-36

PENGANTAR
          Hari ini kita mendengarkan Injil Lukas tentang Transfigurasi Yesus, atau penampakan Yesus yang dimuliakan, di gunung Tabor. Langsung sebelum ceritera tentang kemuliaan Yesus ini Lukas justru menulis: “Yesus berkata:<Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga >” (Luk 9:22). Dalam gambaran kontras antara penderitaan dan kematian di satu pihak, dan kemuliaan Yesus di lain pihak inilah hari ini pesan berita Lukas tentang transfigurasi Yesus kepada kita.

HOMILI
          Lukas sesudah berceritera (Luk 9:22-27), bahwa Yesus sendiri harus menderita, mati dan bangkit, langsung memberitakan transfigurasi-Nya, yang merupakan gambaran kemuliaan-Nya. Jadi penderitaan Yesus akhirnya membawa-Nya kepada kemuliaan.
          Sejak dalam Perjanjian Lama peristiwa atau momen-momen yang penting, besar dan mulia berlangsung di gunung-gunung tinggi. Misalnya Yahwe berbicara kepada Musa di Gunung Sinai. Elias disapa Yahwe di gunung juga. Juga dalam Perjanjian Baru: Yesus pergi dan naik ke gunung untuk berdoa (Luk 6:12; 22:39-41). Dalam Minggu Prapaskah I yang lalu kita melihat Yesus 40 hari godaan di padang gurun, tetapi hari ini kita diajak melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Tetapi di samping Tabor masih ada gunung atau bukit lain, yang bukan menunjukan kemegahan dan kemuliaan, melainkan kehinaan Yesus, yaitu gunung Golgota!
          Dalam Injil hari ini Lukas menunjukkan kepada kita, bagaimana Yesus mendidik dan menyiapkan murid-murid-Nya, agar supaya dapat menjadi pengikut-pengikut-Nya yang benar dan setia!
          Seperti terbukti sampai akhir hidup-Nya, murid-murid Yesus masih belum memiliki gambaran tentang Almasih yang sebenarnya. Almasih tetap digambarkan terlalu secara manusiawi. Almasih dilukiskan sebagai Raja yang berkuasa, megah istananya, mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Mereka belum bisa memahami kata-kata Yesus ini: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak...lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.- Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:22-23). Karena itu mereka (meskipun hanya 3 orang) diajak Yesus naik ke gunung Tabor, agar tahu bahwa di manapun dan dalam keadaan apapun Allah selalau hadir! Meskipun ada tantangan dan godaan bagi Yesus di padang gurun, akhirnya ada kemuliaan juga bagi-Nya di gunung Tabor.
          Pengalaman Yesus adalah teladan bagi kita. “Masa Puasa hidup kita”, bukan hanya Masa Puasa liturgis 40 hari! Hidup kita adalah masa penuh godaan dan tantangan, harus kita hadapi dengan penuh harapan.Tetapi untuk membawa kita kepada gunung kebahagiaan.
          Keinginan Petrus untuk tetap tinggal dalam “keadaan enak” di gunung Tabor itu merupakan suatu contoh keinginan manusia untuk tetap merasakan yang “enak”, aman, memuaskan, menyenangkan, untuk menghinia tak mau menggabungkan diri dengan masyarakat , di mana ada kesukaran, risiko, pertentangan dan tantangan hidup. Demi “keamanan” dan jangan sampai kehilangan kenyamanan hidup yang sudah dimiliki, ia hanya ingin merasakan yang enak saja. Orang condong untuk tidak turun dari gunung kenyamanan dan turun untuk menjumpai orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
         
          Mengapa Tuhan memperlihatkan kemuliaan Yesus hanya kepada 3 murid-Nya, dan tidak kepada semua orang?  Mengapa kemuliaan Yesus di Tabor tidak jauhkan dari kehinaan-Nya di salib di Golgota? Transgfigurasi Yesus memberi pelajaran kepada kita, bahwa kehidupan mulia hanya dapat ditempuh dan dicapai lewat kematian.
          Petrus, Yakobus dan Yohanes, yang diberi kesempatan melihat kemuliaan Yesus di gunung Tabor diajak turun lagi dari gunung itu oleh Yesus. Artinya, “di bawah”, di dalam masyarakat, di sana masih banyak orang yang harus diberitahu, diberi keyakinan, bahwa Yesus adalah sungguh Penyelamat kita, yang datang dari Allah. Karena itu meskipun akan menderita dan mati di gunung Golgota, namun di gunung yang sama Ia akan bangkit kembali dan dimuliakan, seperti telah dilambangkan  di gunung Tabor.

Jakarta, 27 Febrauri 2010.

Masa Prapaskah I/C/2010 - 21 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MISA PRAPASKAH I/C/2010
21 Februari 2010
Ul 26:4-10   Rm 10:8-13   Luk 4:1-13

PENGANTAR
           Dalam perayaan Rabu Abu, Paus Benedictus XVI yang juga mene-rima abu di dahi sebagai ungkapan pertobatan, berkata bahwa “kita ini (yang) abu dan akan kembali menjadi abu” adalah ‘sangat berharga’ di hadapan Allah. Di manakah letak kebesaran kita? Letak kebesaran sejati kita sebagai orang Kristen kita peroleh, apabila kita mampu dan berhasil melawan dan mengatasi godaan si jahat, seperti akan kita dengarkan dalam Injil Lukas hari ini.

HOMILI
          Lukas menceriterakan Yesus dibimbing Roh pergi ke padang gurun, dan tinggal di sana 40 hari dan dicobai Iblis. Kena panas terik matahari, menderita karena lapar, Ia menghadapi tantangan Iblis. Godaan yang dialami Yesus adalah gambaran perjuangan hebat antara “yang baik” dan “yang jahat”, antara Allah dan Setan. Pengalaman Yesus di padang gurun itu membangkitkan pertanyaan dalam diri kita.
Pengalaman-pengalaman “di padang gurun” apa yang telah  kualami dalam hidupku? Pengalaman di padang gurun manakah yang kini masih tetap kualami sekarang ini juga? Seperti Yesus sendiri, kapan dan bagaiman aku menyediakan waktu atau saat-saat untuk renungan, waktu menyendiri untuk refleksi atau kontemplasi di tengah-tengah kesibukan hidupku? Bagaimana hidupku di tengah padang gurun hidupku sendiri? Apakah aku selalu dan tetap tegas, berani dan konsisten melawan iblis/setan? Apa yang kuusahakan secara tak kenal lelah untuk mengubah padang gurun hidupku menjadi hidup yang sungguh penuh ketenangan dan damai?
          Dalam ceritera Lukas kita melihat bagaimana iblis mencoba terus menerus mengajak Yesus meninggalkan keutuhan kemurnian hati dan kesetiaan-Nya kepada Bapa-Nya yang mengutus-Nya sebagai Penyela-mat. Bila Israel, bangsa-Nya dahulu  di padang pasir telah gagal bertahan setia kepada Yahwe, Tuhannya, namun Yesus tidak pernah akan demiki-an! Yesus setia dan berpegang teguh pada ikatan-Nya dengan Bapa-Nya, sehingga setan-setan di padang gurun pun tidak mampu mengalahkan kesetiaan-Nya.
          Dalam godaan pertama tentang kebutuhan materiil, Yesus secara tegas tidak menyangkal kebutuhan manusia akan makan minum untuk pemeliharaan hidupnya. Tetapi bagi Yesus hidup manusia dan kebutuhan-nya harus selalu disesuaikan dengan kehendak Allah. Artinya, barang-siapa mau mengikuti Yesus tidak akan menggantungkan dirinya hanya dari hal-hal materiil belaka. Bila kita lebih tergantung pada barang materiil dan bukan pada Allah, berarati kita terus memasuki godaan dan berdosa.
          Godaan kedua menyinggung hal penghormatan kepada setan dari-pada kepada Allah. Yesus sekali lagi menegaskan kepada setan, bahwa Allah menguasai dan mengatur segalanya. Kita harus selalu ingat akan hal itu, terutama apabila godaan-godaan yang kita hadapi menguasai kita. Juga apabila kita mengalami situasi, di mana segala sesuatu tampaknya gagal, gelap dan jahat. Padahal akhirnya Tuhan Allahlah yang menen-tukan nasib kita.
          Dalam godaan ketiga si iblis mencoba minta bukti atau suatu menifestasi kasih Allah khusus kepada Yesus melebihi lainnya. Yesus menjawab, bahwa Ia tidak perlu membuktikan kepada siapapun, bahwa Allah mengasihi-Nya.
          Godaan adalah segala sesuatu yang membuat kita rendah, kecil, buruk, jelek, tak berharga! Godaan si jahat menggunakan segala macam cara apapun. Godaan si  jahat tidak akan pernah berhenti. Yesus sendiri sejak awal berhadapan dengan si jahat. Seperti diceriterakan dalam Injil Lukas, Yesus selalu melawan si jahat dengan menggunakan Kitab Suci, baik dalam kegelapan kebingunan, keragu-raguan maupun dalam godaan.
          Kita harus belajar dari Yesus, bahwa Allah selalu hadir dan memperkuat kita di tengah godaan, bahkan dalam kedosaan kita! Apapun dan bagaimanapun keadaan kita, kita harus menyediakan ruang dan saat rohani dalam hidup kita, di mana kita dapat melepaskan diri dari suasana dan iklim palsu di sekeliling kita, agar dapat menghirup udara sehat lagi.
          Itulah pelajaran-pelajaran yang dapat kita peroleh dari padang gurun. Pelajaran itu sungguh kita butuhkan, baik di tengah kesibukan hidup dan karya, maupun pada saat berdoa dan dalam ketenangan untuk mendengarkan sabda Allah.
          Kita dapat bertemu dengan Allah di tengah padang gurun kedosa-an, kelemahan, kesendirian, ketakutan dan kehilangan harapan. Dan di tengah padang gurun hidup kita, kita akan mendengar apa yang dikehen-dikan-Nya, asal kita bersedia untuk selalu membuka hati kita kepada-Nya
          Jalan-jalan tak terelakkan di padang gurun, yang harus ditempuh terletak di dalam hati Yesus. Jalan-jalan yang sama itu ada juga di hati kita, dan harus ditempuh oleh setiap orang yang mau mengikuti Dia. Sebagai manusia Yesus juga dari debu dan kembali menjadi debu. Tetapi debu yang bangkit kembali. Memang kita pun debu seperti Yesus, namun berharga dihadapan Allah.

Jakarta, 20 Februari 2010

Rabu Abu - 17 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
Rabu Abu
17 Februari 2010
Yoel 2:12-18   2 Kor 5:20-9:2   Mat 6:1-6.16-18

            Prestasi kemampuan, pelaksanaan dan hasil gemilang adalah pegangan dasar, yang harus dicita-citakan setiap orang, apabila ingin berbuat sesuatu secara profesional. Makan minum, latihan fisik maupun psikis, ketahanan dan disiplin diri, semua itu merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi, bila ingin berprestasi.
           
Untuk merayakan Pesta Paskah, Hari Raya Kebangkitan Yesus Kristus, kita mulai hari ini diajak Gereja untuk berpuasa. Kita diajak mempersiapkan diri supaya perayaan Kebangkitan Kristus sungguh berdayaguna bagi hidup kita. Artinya supaya kita ikut bangkit bersama Dia.
           
Yesus pun ternyata harus berpuasa empatpuluh hari. Ceritera pendek tentang pengalaman-Nya dicobai setan di padang gurun merupakan suatu psikologi rohani yang fundamental bagi semua murid-Nya. Psikologi rohani tidak mengenal prestasi. Yesus pun bukan untuk berprestasi melaksanakan tugas perutusan-Nya, baik di hadapan Raja Yahudi, Pembesar Romawi di Palestina, maupun berhadapan dengan ahli-ahli Taurat dan Kitab Suci.

Bila masa puasa kristiani dapat menolong kita untuk ikut bangkit bersama Kristus menuju kepada kesadaran kita sebagai orang lemah dan berdosa, hasil itu bukan prestasi puasa atau matiraga kita, melainkan anugerah belaskasih Allah semata-mata.
Bila kita secara manusiawi dan kristiani ingin sungguh bergembira dalam hati atas perubahan batin yang dapat kita peroleh, maka kegembiraan itu bukan sebagai hasil prestasi kita sendiri, melainkan berkat keyakinan dan kesadaran kita, bahwa terhadap Tuhan kita harus selalu rendah hati.
           
Puasa dan pantang bentuk apapun tiada gunanya, bila bukan kita laksana-kan sebagai  sebagai ungkapan kerendahan hati. Inilah yang disebut pertobatan sejati. Orang yang sungguh bertobat tahu menempatkan dirinya, baik di  hadapan Allah, maupun juga terhadap sesama kita, siapa pun mereka itu?
Jangan sampai di hadapan Tuhan  kita, yang berkat baptis adalah sama-sama putera-puteri Allah, merasa lebih tinggi dari pada orang lain!  Yesus bukan menghindari atau menjauhi orang-orang kecil, orang-orang lemah dan berdosa, sebaliknya justru mendekati mereka sebagai sesama manusia. Adalah suatu dekristenisasi atau kekristenan palsu apabila kita tampak berpuasa dan berpan-tang, namun tidak tampak pula dalam sikap dan perlakuan kita terhadap sesama.
Jakarta, 16 Februari 2010

Minggu Biasa V/C/2010 - 07 Februari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU BIASA V/C/2010
07 Februari 2010

Yes 6:1-2a.3-8   1 Kor 15:1-11   Luk 5:1-11

PENGANTAR

          Hasil penangkapan ikan luarbiasa bagi Petrus merupakan bukti, yang meyakinkan dirinya. Maka ia tersungkur di depan Yesus dan berseru: “Tuhan, tinggalkanlaha aku, karena aku ini orang berdosa”. Tetapi seruan Petrus dijawab Yesus: “Jangan takut! Mulai sekarang engkau akan menjala manusia”!

HOMILI     

          Bagi orang “modern” atau “maju” istilah “penjala/penangkap manusia” atau “gembala domba” yang dipakai Yesus untuk menyebut rekan-rekan kerja-Nya  (co-workers), para rasul, terdengar kurang sedap, sebab dirasakan mengurangi martabat atau kedudukan hidup dan karyanya untuk zaman ini. Dewasa ini orang tak suka “ditangkap”, “dijala” orang lain, apalagi menjadi bagian dalam kelompok domba! Kiranya istilah injili yang dipakai Yesus itu membutuhkan keterangan.
          Penangkap ikan maupun gembala pertama-tama memikirkan kebutuhannya sendiri, bukan kebutuhan ikan maupun dombanya. Gembala bukan memikirkan dan menggembalai domba untuk kepentingan domba-nya, melainkan untuk hidupnya sendiri: untuk memperoleh susu, bulu/ wol dan bahan makan. - Makna penangkap ikan/gembala domba dalam Injil ternyata justru sebaliknya. Penangkap ikan alkitabiah bertujuan melayani ikan-ikannya, dan gembala justru berkorban demi dombanya, bahkan mengorbankan hidupnya. Manusia “ditangkap”, “dijala”, bukan karena kesalahan atau kejahatannya, melainkan justru untuk diselamat-kan!
          Ibaratnya, kita naik kapal, dan kapal itu di tengah laut diterjang ombak hebat, kapal hancur dan kita terapung-apung di tengah ombak, lalu datanglah orang-orang membawa tali atau papan untuk menyelamatkan kita. Maka mereka “menangkap” kita bukan untuk merendahkan diri kita, sebaliknya untuk menawarkan harapan untuk dapat hidup. Itulah makna istilah penangkap atau penjala manusia alkitabiah. Mereka menolong penyelamatan manusia di tengah ombak badai hidup, dan membantu siapapun yang mengalami bahaya maut.
          Perlu direnungankan lebih mendalam! Mengapa ada orang yang berperan sebagai penangkap ikan, tetapi yang lain sebagai ikan? Atau ada yang tampil sebagai gembala, ada pula sebagai domba? Latar belakang masalah ini disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian tentang hubungan/relasi dan perasaan di antara penangkap ikan dan ikan, di antara gembala dan domba. Seakan-akan di antara mereka ada ketidaksamaan, ketidaksetaraan, superioritas, minoritas.
          Pada dasarnya tidak seorang pun ingin berada sekadar menjadi suatu nomor belaka dalam suatu kelompok. Tetapi kita harus berani membebaskan diri dari praduga atau anggapan tak sehat. Dalam Gereja, yakni murid-murid Yesus, tidak seorang pun adalah hanya seorang penangkap iman belaka atau seorang gembala. Kita ini sebenarnya,  seca-ra aneka ragam dan bentuk yang berlainan, adalah sama. Seseorang bukan hanya seorang dokter, ia sekaligus adalah seorang bapak dalam keluarga, dan anggota suatu organisasi! Hanya Kristus sendirilah yang hanya penangkap ikan dan bukan ikan, hanya gembala dan bukan domba!
          Petrus sendiri, sebelum menjadi penangkap manusia harus “ditangkap” dulu oleh Yesus, dan itu berkali-kali. Misalnya ia harus “ditangkap” pada waktu akan tenggelam, ketika berjalan di atas air dan merasa takut. Petrus “ditangkap” juga ketika ia tidak mau mengakui Yesus sebagai Gurunya. Petrus ternyata harus mengalami sendiri apa artinya merasa sendiri sebagai “domba yang hilang”. Dengan demikian ia belajar apa artinya menjadi gembala yang baik. Petrus harus “ditangkap”, diselamatkan dari kedalaman kekecewaan atas ketidakberhasilan jerih payah semalam suntuk di laut. Yesus “menangkap” Petrus, menyelamatkannya dari ketidakberhasilannya dengan berkata: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan”. Petrus belajar dari pengelamannya sendiri untuk menjadi penangkap manusia yang baik.
          Demikianlah segenap orang kristen yang sudah dibaptis adalah seperti Petrus, sebagai orang yang ditangkap/dijala bagaikan ikan, namun sekaligus menjadi penangkap ikan juga, masing-masing menurut keadaannya sendiri. Imam adalah penangkap ikan melalui pewartaan sabda Allah dan pemberian sakramen. Kaum awam pun adalah penangkap ikan bagi orang lain melalui hidup dan pekerjaan/karya mereka untuk “menangkap”, menyelamatkan orang lain dalam bahaya hidupnya.
          Dalam Injil ditulis, bahwa Petrus dan teman-temannya minta orang–orang lain untuk membantu mereka, sebab hasil penangkapan ikan mereka sangat besar! Dalam Tahun Imam ini, Gereja mengajak kaum awam untuk ikut membantu pelaksanaan tugas karya “penangkapan ikan” dan “penggembalaan” para imam. Sebab hasil penangkapan ikan kita besar!
Amin.

Jakarta, 6 Februari 2010

Minggu Biasa IV/C/2010 - 31 Januari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU BIASA IV/C/2010
31 Januari 2010
Yer 1:4-5.17-19   1 Kor 12:31-13:13   Luk 4:21-30
PENGANTAR
          Injil Lukas yang akan kita dengarkan hari ini (Minggu Biasa IV) ada-lah lanjutan Injil Lukas yang telah kita dengarkan Hari Minggu lalu (Minggu Biasa III). Minggu lalu Lukas menceriterakan penampilan dan  pengenalan diri Yesus di hadapan penduduk Nasaret. Yesus mengakui diri-Nya sebagai tokoh Almasih yang digambarkan tugasnya oleh Yesaya. Hari ini diceri-terakan reaksi negatif penduduk Nasaret terhadap Yesus. Marilah kita mencoba menangkap apa yang ingin disampaikan Lukas tentang bagaimana sikap kita terhadap Yesus. Penduduk Nasaret dizaman Yesus dahulu belum orang kristen, sedangkan kita sekarang sudah dibaptis menjadi murid Yesus Kristus.

HOMILI
          Apa yang dilakukan Yesus sebagai Almasih, seperti “menolong orang miskin, menyembuhkan orang buta, membebaskan orang tawanan dan tertindas”, - semua perbuatan Yesus yang dilihat sebagai mukjizat itu tidak diselenggarakan-Nya di Nasaret. Orang-orang di Nasaret heran mengapa tidak dilakukan juga di Nasaret tempat asal dan tinggal-Nya. Menghadapi keadaan itu Yesus berkata: “Sungguh tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya”. Kuasa dan kemampuan-Nya untuk mengadakan mukjizat tidak dilakukan-Nya di kalangan sesama penduduk Nasaret, tetapi di daerah sekitarnya. Sebagai contoh Ia menyebut Nabi Elia dan Nabi Elisa. Mereka melakukan yangsama, mereka itu bukan menolong orang-orang Israel bangsanya sendiri, tetapi justru orang-orang asing: seorang janda dari Sarfat-Sidon dan Naaman dari Siria, kedua-duanya di luar daerah Israel? Mengapa?
          Seperti dialami oleh Nabi Elia dan Nabi Elisa, Yesus sebagai nabi me-ngalami sendiri, bahwa apa yang Ia katakan atau ajarkan tidak diterima oleh orang-orang Nasaret, sebab tidak disertai bukti mukjizat sebagai tanda kehebatan dan kebesaran-Nya, yang telah diperlihatkanNya di Kaparnaum. Apalagi Yesus adalah orang biasa, tidak lebih daripada anak Yusuf, seorang tukang kayu, termasuk golongan kelas rendah dalam masyarakat. Bagaimana mungkin kata-kata orang semacam itu dapat diterima. Yesus ditolak!
          Dari segi lain, - dan inilah rupanya yang ingin disampaikan oleh Lukas kepada para pembaca Injilnya - , Yesus tidak dapat menyelenggara-kan perbuatan dan karya-Nya yang agung apabila Ia menghadapi orang-orang yang sikap dirinya tertutup, curiga serta tidak percaya kepada-Nya.
          Bila orang-orang siapapun berkumpul dan bersama-sama tidak mau menerima, memahami dan menolak pandangan atau tawaran pendapat orang lain, maka mereka ini hanya mau memegang pandangannya sendiri dan menolak tawaran kehendak baik dan kasih orang lain. – Bukankah keadaan dan sikap seperti itu juga pernah bahkan kerapkali kita alami sendiri? Bukankah situasi semacam ini sekarang pun merupakan situasi, suasana dan iklim masyarakat kita, di mana setiap pihak berpegang teguh pada pendirian-nya sendiri, tertutup untuk saling terbuka untuk menerima pandangan yang lain, bahkan disertai praduga dan kecurigaan? – Bukankah situasi semaam itu pun tak jarang di dalam lingkungan keluarga-keluarga kita?
          Orang-orang di Nasaret tidak mau meninggalkan sikap posesif, atau sikap “hanya akulah yang benar” terhadap Yesus. Karena itu ketika Yesus menunjukkan apa yang dilakukan oleh Nabi Elia dan Elisa, “sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu” dan mengusir Dia, bahkan mau membunuh-Nya. Yesus dikritik habis-habisan, justru karena Ia mau mengajak setiap orang membuka hati kepada orang-orang kecil. Kejujuran dan keterbukaan hati-Nya justru menghadapi perlawanan, yang membawa-Nya mati di salib!
Injil hari ini menunjukkan kepada kita, bahwa memiliki suatu pandangan dan sikap hidup yang universal atau luas dan menyeluruh tidaklah mudah! Yesus ditolak karena Ia menunjukkan kejiwaaNya yang besar dan kemurahan hati-Nya, khususnya kepada orang-orang pinggiran.
          Berhadapan dengan Yesus yang berjiwa besar, murah hati dan berpandangan luas itu, kita mengakui bahwa kita sendiri sering berjiwa egoistis, irihati, kering dan keras hati. Bagaimana kita dapat mengakui sungguh-sungguh kebaikan dan kesucian Yesus, kalau kita sendiri tidak mampu mengakui kelemahan diri kita sendiri. Seperti dialami dan dimiliki oleh orang-orang Nasaret, kita sering kurang sadar bahwa kita memilik kebutaan hati. Salah satu ciri kebutaan hati ialah sikap posesif, nafsu memiliki, memiliki mutlak hanya untuk diri sendiri.
  • Kita semua juga dipanggil menjadi nabi seperti Elia, Elisa, terutama seperti Yesus sendiri. Ciri nabi yang sejati ialah tahu dan mau mengatasi batas-batas pandangan dan kepentingan diri sendiri dan tidak merendahkan martabat orang sesama kita.
Jakarta, 31 Januari 2010

Minggu Biasa III/C/2010 - 24 Januari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU BIASA III/C/2010
Jakarta, 24 Januari 2010

Neh 8:3-5a.6-7.9-11   1 Kor 12:12-30   Luk 1:1-4; 4:14-21

PENGANTAR
          Bacaan pertama hari ini diakhiri dengan seruan: “Jangan bersusah hati, tetapi bersukacitalah karena Tuhan, sebab sukacita karena Tuhanlah perlindunganmu!”. Paulus dalam bacaan kedua mengingatkan kita, bahwa kita semua bersatu dalam Kristus: “Kamu semua adalah tubuh Kristus, dan masing-masing adalah anggotanya”. Dan dalam Injil Lukas hari ini Yesus berkata: Aku diutus memberitahukan, bahwa tahun rahmat telah datang.

HOMILI
          Sangat menarik bagaimana Lukas menyusun ceritera Injil karangan-nya tentang Yesus. Ditulisnya, bahwa Yesus tampil di depan umum untuk melaksanakan tugas perutusan-Nya sesudah dicobai Iblis di padang gurun. Yesus dicobai tetapi mampu mengatasinya. Yesus yang lurus, tulus dan jujur hati-Nya inilah yang memperkenalkan diri sebagai Almasih kepada masyarakat-Nya di Nasaret. Menurut Yesaya Almasih datang untuk membe-rikan kabar baik kepada orang miskin, pembebasaan kepada orang tawanan, penglihatan kepada orang buta, pembebasan kepada orang tertindas (lih.Yes 61:1-2). Itulah tujuan kedatangan Almasih. Dan Yesus menambahkan penegasan-Nya, bahwa “tahun rahmat Tuhan itu telah datang!”
          Apakah makna “rahmat Allah sudah datang”? Dalam bahasa Injil lazim dipakai juga istilah “Kerajaan Allah sudah datang”. Kedua istilah itu artinya sama. Yesus Almasih sudah datang, bahkan Ia sudah menebus dan menyelamatkan dunia. Dan Ia juga sudah mendirikan Gereja-Nya untuk meneruskan pemberian rahmat Allah dan membangun Kerajaan-Nya. Tetapi kenyataannya sesudah 20 abad, rahmat Allah dan Kerajaan-Nya yang dimulai dengan kedatangan Yesus sebagai Almasih belum serba jelas.
Mengapa? Apa gerangan sebabnya?
Keadaan dunia kita sekarang ini, termasuk di negara kita, membuk-tikan bahwa rahmat Allah dan Kerajaan Allah memang tidak dapat dipahami atau disamakan dengan kenyataan dan hal-hal duniawi, materiil, yang serba tampak. Kata-kata Yesus: “Pada hari ini genaplah nas tadi sewaktu kamu mendengarkanya” adalah pengakuan diri-Nya sebagai “Yang diurapi” Allah sebagai Almasih. – Tetapi pengertian orang-orang Yahudi sezaman-Nya tentang Almasih sangat berlainan! Mereka menggambarkan perubahan keadaan dunia sebagai Kerajaan Allah langsung terjadi: aman, makmur, damai sejahtera, tidak ada perpecahan, permusuhan, balas dendam.
          Yesus datang mewartakan, melaksanakan dan memberikan kerajaan rohani, spirituil, bukan jasmani, materiil. Karena itu 20 abad yang lalu maupun sekarang ini, kerajaan Allah menurut gambaran materialistis belum tampak nyata. – Inilah  ketegangan penghayatan kepercayaan, yang harus kita miliki dan hayati sebagai orang beriman Ketegangan akan Kerajaan Allah yang sudah ada dan yang belum ada. Kerajaan Allah ada dalam diri Yesus Kristus, dalam pewartaan-Nya, dalam karya penyelamat-Nya, yang disertai dengan tanda-tanda kebenarannya, seperti penyembuhan orang sakit, memberi makan dan minum kepada orang yang lapar dan haus, mengusir roh jahat atau setan, bahkan membangkitkan kembali orang mati. – Kita tidak tahu, - Yesus pun mengatakan bahwa Ia tidak tahu - , berapa lamanya masa ketegangan yang harus kita alami dalam waktu antara “sudah adanya” dan “belum adanya” kepenuhan penyelenggaraan “rahmat Allah” dan “Kerajaan Allah” yang tengah berlangsung.
          Dengan latar belakang inilah Injil Lukas hari ini ingin mengingatkan kita dan menegaskan bahwa:
  1. Iman kita kepada Yesus bukanlah sekadar suatu pengetahuan atau ilmu, melainkan suatu keyakinan, bukan paksaan, bahwa Ia sungguh Almasih atau Penyelamat kita, seperti dibuktikan-Nya lewat ajaran, hidup, sikap dan perbuatan-Nya.
  2. Keselamatan kita sudah dimulai, memang belum sepenuhnya, namun pasti. Tetapi untuk dapat diselamatkan, kita harus terus menerus mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, bukan secara ikut-ikutan. Iman kita harus diuji kesungguhannya.
  3. Bukan hanya secara fisik, jasmani, materiil, tetapi juga dan terutama secara rohani, spirituil dan batin, kita harus tahu dan merasa, - seperti disebut oleh Yesus - , bahwa kita adalah miskin, tawanan, buta, tertindas, rohaniah ataupun jasmaniah! Hanya orang yang merasakan kekurangannya itulah yang akan diselamatkan.

Jakarta, 23 Januari 2010

Pesta Pembaptisan Tuhan - 10 Januari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
PESTA PEMBAPTISAN TUHAN (C)
10 JAN. 2010 - Yes 40:1-5.9-11 Tit 2:11-14 Luk 3:15-16.21-22
PENGANTAR
Hari Minggu lalu kita menyambut penampakan Tuhan di dunia ini sebagai manusia seperti kita. Dan Hari Minggu ini kita merayakan Yesus yang dibaptis. Dan pada kesempatan pembaptisan-Nya inilah Yesus diakui oleh Allah sebagai Putera-Nya. Yesus yang dibaptis inilah pula yang diutus Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Marilah kita melihat dan mencoba memahami makna baptis kita menjadi pengikut Kristus dengan latar belakang pembaptisan Yesus sendiri. Yesus mulai berkarya sesudah dibaptis.

HOMILI
Menurut Injil Lukas Yohanes membaptis dengan air, sedangkan Yohanes sendiri berkata, bahwa Yesus membaptis “dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk 3:16). Seperti juga diceriterakan oleh Lukas dalam Kisah Rasul, bagi Gereja Perdana atau umat kristen pertama, api digambar-kan sebagai pencurahan Roh pada peristiwa Pentakosta (Kis 2:1-4). Roh dan api secara simbolis dilihat sebagai proses pembersihan dan permurnian hati manusia.
Dan pada waktu Yesus dibaptis, terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan!” (Luk 3:22). Dalam kata-kata itu terungkaplah pernyataan yang sangat men-dasar tentang Yesus sebagai “orang dari Nasaret itu”, bahwa Yesus adalah ungkapan kasih Allah kepada Israel baru, umat-Nya yang sebenarnya. Kasih Allah mengungkapkan kasih-Nya kepada umat manusia, kepada kita, dengan membiarkan diri-Nya dibaptis di sungai Yordan seperti orang-orang lain. Dengan demikian Ia ingin menunjukkan, bahwa Ia sungguh rela menerima kondisi kita sebagai manusia seutuhnya. Lahir di Betlehem, dibaptis di sungai Yordan sebagai pengakuan diri sebagai manusia lemah. Di Yordan Yesus menerima pengakuan sebagai Putera Allah dan perutusan-Nya, dan di saliblah Ia menyelesaikan perutusan-Nya! Dengan menerima baptis dari Yohanes di Yordan, Yesus menyamakan diri seutuhnya (kecuali dalam hal dosa) dengan manusia, yang harus diselamatkan-Nya! Itulah pelaksanaan kenabian yang sempurna!

Kita pun diundang dan diutus Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilan kenabian Gereja! Apa arti baptis kita?
Kita semua tanpa kekecualian dibaptis dalam Yesus Kristus, artinya kita dibaptis dalam kematian-Nya. Berkat baptis kita menerima hidup Gereja dan harus memelihara dan menghayatinya dengan iman. Apakah sebenarnya hidup Gereja atas dasar iman? Iman berarti, seperti Yesus sendiri, selalu ikut prihatin terhadap orang lain. Iman sejati adalah suatu tanggungjawab umum, bukan tanggung jawab perorangan atau “private”. Baptis adalah panggilan untuk ikut melaksanakan tugas kenabian! Pelaksanaannya masing-masing menurut keadaan dan kedudukannya. Pada dasarnya panggilan tugas kenabian berarti kesediaan untuk berkorban!
Pada Pesta Hari Raya Pembaptisan Yesus ini kita semua diundang untuk meninjau kembali dan merenungkan “apa sebenarnya arti baptis bagiku?” Apakah hidupku sebagai orang yang sudah dibaptis dijiwai, dibimbing dan dihayati dengan semangat Yesus? Apakah hidup dan pekerjaanku, apapun bentuk atau macamnya, merupakan penghayatan tugas kenabianku sebagai orang yang sudah baptis? Apakah yang dapat kulakukan sekarang ini, dalam keluarga, di lapangan kerja, di lingkungan Gereja, di tengah masyarakat konkret sekarang ini?
Semoga Pesta Pembaptisan Yesus ini kita terima sebagai undangan dan harapan, agar kita selalu ingat dan berterimakasih atas pembaptisan kita. Mari kita makin sadar untuk melaksanakan janji-janji baptis yang telah kita ucapkan, baik secara perorangan atau diwakili oleh orang tua kita. Semoga rahmat yang telah kita terima dalam pembaptisan menolong dan meneguhkan kita, untuk berani tampil sebagai cahaya bagi orang lain di tengah masyarakat kita. Apakah kita yang sudah dibaptis ini sungguh putera-puteri Allah dan berkenan kepada-Nya? A m i n .

Jakarta, 8 Januari 2010.

Hari Raya Penampakan Tuhan - 03 Januari 2010

H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN
Yes 60:1-6, Ef 3:2-3,5-6, Mat 2:1-12

PENGANTAR

          Hari ini kita merayakan Hari Raya Penampakan Tuhan (Epiphania Domini). Penampakan atau penampilan diri setiap orang, direncanakan atau tidak, sangat penting. Penampilan orang pertama di hadapan umum menen-tukan sikap atau tanggapan mereka terhadap dirinya.
          Hari ini kita diajak menyambut Yesus, Penyelamat kita, yang menam-pakkan diri di Betlehem, yang dewasa ini di mana-mana digambarkan terbaring di sebuah palungan di gua atau gubug sederhana. Marilah kita ber-sama orang-orang majus menghadap, bersujud dan menyembah Dia.
HOMILI
          Cara memperkenalkan diri atau tampil di hadapan umum sangat bera-neka ragam. Cara yang paling polos, otentik, dan sungguh nyata seperti adanya dilakukan oleh setiap bayi yang dilahirkan. Itulah yang dilakukan Yesus. Sangat pentinglah bagi kita, yang merayakan penampakan Tuhan Allah kepada kita. Ternyata jalan yang ditempuh oleh Allah yang menjadi manusia itu begitu biasa, bahkan demikian sederhana, sehingga di kalangan masyarakat sezaman-Nya pun sangat sederhana. Bukan menyolok, bukan spektakuler!
          Pater J.M.H. Nouwen menulis sebagai berikut: “Saya ingin menulis bagi Anda mengenai kasih Allah, yang menjadi nyata dalam Yesus. Bagai-mana kasih itu dinyatakan melalui Yesus? Kasih itu dijadikan nyata melalui jalan turun. Itulah rahasia agung penjelmaan. Allah telah turun kepada kita manusia agar dapat menjadi manusia bersama kita. Dan sebagai seorang dari antara kita, Ia merendahkan diri menjadi orang yang dihukum mati. Dalam hati tidak mudahlah untuk merasakan dan memahami jalan turun Yesus ini”.
          Menanggapi isi renungan tentang “jalan turun” itu, dalam Injil Matius hari ini kita dapat menyimpulkan tiga macam sikap diri manusia terhadap jalan turun yang ditempuh Yesus Juruselamat kita:
          Pertama: “Orang-Orang Majus”, orang-orang asing terkemuka dari Timur, adalah kelompok orang yang baik hati maupun budinya terbuka dan peka terhadap tanda di langit tentang kedatangan Penebus. Mereka serentak rela meninggalkan keluarga, milik, pekerjaannya dan berani menggambil risiko mencari bayi Penyelamat di negeri asing.
          Kedua: Di negeri Yahudi sendiri Raja Herodes dan penduduknya ter-kejut mendengar berita kelahiran Mesias. Dalam diri Herodes terungkap-lah pribadi manusia yang egois. Sebagai raja ia melihat bahaya akan kehilangan kedudukannya. Penampilan orang lain dianggapnya sebagai lawan. Para imam dan ahli Taurat Yahudi tahu dari Kitab Suci, bahwa Mesias akan lahir di Betlehem. Tetapi hati mereka beku, mereka tidak mencari benar atau tidaknya berita kedatangan Mesias itu. Mereka tidak ambil pusing. Mental masyarakat tidak berubah apapun!
          Ketiga: Kelompok ketiga terdiri dari orang-orang sederhana, yang tak punya pretensi apapun, bahkan termasuk penduduk kota pinggiran: gembala-gembala. Mereka ini orang-orang yang saling terbuka, saling berbagi baik dalam kesukaan maupun kedukaan, dalam kelebihan atau kekurangan. Orang-orang inilah yang mampu membaca tanda dari langit.
          Ketiga macam sikap itu dapat kita anggap sebagai alat cermin untuk memantulkan kesungguhan atau kesejatian diri pribadi kita masing-masing. Allah menampakkan diri kepada kita manusia dengan menempuh JALAN TURUN.  Allah sudi menjadi manusia seperti kita. Ia yang agung menjadi kecil, Ia yang menguasai segalanya menjadi miskin, Ia Raja semesta alam menjadi bayi makhluk kecil di Betlehem. Gambar diri pribadi manakah yang terpantul dalam cermin penampakan Tuhan kita Yesus Kristus? Dengan sikap manakah: Sikap ketiga majus dari Timur? Sikap Herodes atau para ahli Taurat? Ataukah sikap gembala-gembala di padang rumput?
          Marilah kita menyambut penampakan Yesus Kristus Tuhan kita dengan hati terbuka dan rendah hati, dan bersujud menyembah Dia. A m i n .

Jakarta, 1 Januari 2010
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...