“Siapa
yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun
belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan
abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk
memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam
kegembiraan surga” (KGK 1030). Keadaan yang digambarkan dalam kutipan
Katekismus Gereja Katolik itulah yang disebut dengan Api Penyucian.
Secara singkat digambarkan sebagai keadaan antara sorga dan neraka. Api
penyucian bukanlah neraka, karena orang-orang yang ada di neraka
adalah orang-orang yang secara definitif menolak Allah, ketika mati
tidak berada dalam status rahmat. Namun demikian, orang-orang yang
berada dalam api penyucian belum masuk surga, meski pasti akan masuk
surga, karena masih harus dimurnikan dari dosa-dosanya. Mereka yang
berada dalam api penyucian ini membutuhkan doa umat yang masih hidup.
Bagaimana ajaran Gereja Katolik mengenai api penyucian ini dapat
dipahami. Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan paham dalam
tradisi Gereja Katolik.
1. Dasar dalam Kitab Suci
Pandangan
mengenai api penyucian berkaitan erat dengan pandangan mengenai hidup
sesudah mati. Perjanjian Lama pada awalnya tidak mengenal hidup sesudah
mati. Kematian dipahami sebagai tidur dalam keabadaian, masuk dalam
dunia orang mati, “ke negeri yang gelap dan kelam pekat, ke negeri yang
gelap gulita, tempat yang kelam dan pekat dan kacau balau, di mana
cahaya terang serupa dengan kegelapan” (Ayb 10:21-22). Dalam dunia
orang mati ini “tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan
hikmat” (Pkh 9:10). Dengan demikian, kematian berarti sungguh-sunggu
keterpisahan. Pertama-tama keterpisahan dari Allah, tetapi juga
keterpisahan dari manusia lainnya. Orang mati tidak dapat dihubungi
lagi. Gagasan seperti ini juga masih hidup pada jaman Yesus. Pertanyaan
orang-orang saduki mengenai perempuan yang secara berturut-turut
dinikahi oleh tujuh bersaudara (Mat 22:23-33; Mrk 12:18-27; Luk
20:27-40) menunjukkan ketidakpercayaan mereka akan kebangkitan badan.
Namun
demikian pelan-pelan berkembang pula paham mengenai kebangkitan badan
dan kehidupan setelah kematian. Berkembangnya sastra apokaliptik
mempengaruhi gagasan mengenai kematian. Orang mati mulai mendapat
perhatian, dan nasib orang mati mulai dikaitkan dengan apa yang mereka
perbuat selama hidup. Apa yang dialami oleh orang-orang mati mulai
dipahami berbeda-beda menurut perbuatan mereka di dunia. Mereka akan
dihakimi menurut perbuatan mereka di dunia, “dan banyak orang-orang
yang telah tidur di debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat
hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang
kekal” (Dan 12:2).
(Baca juga: Apologetik Api Penyucian Berdasarkan Kitab Suci)
(Baca juga: Apologetik Api Penyucian Berdasarkan Kitab Suci)
Penegasan
mengenai relasi keadaan mereka yang sudah meninggal ditampilkan oleh
Kitab 2 Makabe 12:43-45: ”Kemudian dikumpulkannya uang di tengah-tengah
pasukan. Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem
untuk mempersembahkan korban penghapus dosa. Ini sungguh suatu
perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan
kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang
gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan
orang-orang mati. Lagipula Yudas ingat bahwa tersedialah pahala yang
amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh
suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah
mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu,
supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka”. Dengan demikian 2 Makabe
menegaskan penghakiman bagi yang meninggal, tetapi sekaligus memberikan
gagasan baru bahwa orang yang sudah meninggal dapat ditolong oleh
mereka yang masih hidup.
Teks Perjanjian
Baru yang paling tegas berbicara mengenai api penyucian ialah 1 Kor
3:10-15, namun gagasan itu juga dapat diketemukan dalam Mat 5:25-26;
Mat 12:31-32; Luk 12:48; 2 Tim 1:16, 1 Kor 15:29. Paulus mengatakan:
“sekali kelak pekerjaan masing-masing akan nampak. Karena hari Tuhan
akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana
pekerjaan masing-masing akan diuji oleh api. Jika pekerjaan yang
dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya
terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan
diselamatkan, tetapi seperti dari api” (1 Kor 3:13-15). Di sini Paulus
tidak hanya menegaskan bahwa setiap orang beriman akan diuji menurut
pekerjaannya, tetapi juga ada keadaan orang beriman yang harus
menanggung akibat dari perbuatannya, meski ia tetap selamat. Dari sini
gambaran api penyucian lebih dipahami sebagai pemurnian orang-orang
yang sudah diterima Tuhan, orang-orang yang sudah diselamatkan tetapi
masih harus menanggung akibat dari perbuatan-perbuatannya yang tidak
tahan uji.
2. Kesaksian Bapa-Bapa Gereja
Sejak
awal Bapa-Bapa Gereja memberi kesaksian akan adanya keadaan tempat
orang-orang beriman yang sudah meninggal disucikan. Kesaksian paling
awal dari iman akan api penyucian muncul dalam tulisan berjudul Kemartiran Perpetua dan Felisitas
(th. 203). Perpetua sudah dijatuhi hukuman mati, karena tidak mau
meninggalkan imannya. Ketika sedang berdoa, ia melihat Dinokrates,
adiknya yang sudah meninggal dan mengajak rekan-rekannya untuk berdoa
bagi adiknya itu. Ia melihat adiknya keluar dari tempat yang kotor,
gelap, pengap, panas, dan ada jurang di antara mereka. Di sampingnya
ada kolam, tetapi tidak dapat dicapai. Perpetua berdoa untuk adiknya
itu. Beberapa hari kemudian ia melihat adiknya dalam keadaan bersih dan
segar. Ia telah dibebaskan dari siksaan yang berat. Inilah kesaksian
dari tulisan mengenai kemartiran Perpetua dan Felisitas. Banyak tulisan
semacam ini yang memberikan gambaran bahwa api penyucian itu sungguh
ada dan orang-orang beriman yang ada di sana dapat disucikan melalui
doa orang-orang yang lebih hidup.
Selain
itu, Bapa-Bapa Gereja juga memberikan gambaran apa itu api penyucian.
Tertullianus berpendapat bahwa hanya para martirlah yang langsung dapat
menikmati kemuliaan surgawi, sementara jiwa-jiwa orang beriman yang
lain harus menunggu kebangkitan badan (Tentang Kebangkitan Badan, 43).
Pada saat penantian itulah, jiwa-jiwa harus disucikan dari
perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Jiwa itu harus menanggung
kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya, sambil menunggu kesatuan
dengan badan di hari kebangkitan badan (Tentang Jiwa, 58).
Jiwa-jiwa ini dapat dibantu dengan doa-doa orang-orang yang masih
hidup, agar menikmati istirahat kekal. Tertullianus mengusulkan
terutama pada peringatan meninggalnya (Tentang Monogami, 10).
Agustinus
juga menegaskan bahwa setiap orang akan menanggung akibat dari setiap
perbuatan yang dilakukannya, entah di dunia sekarang atau di dunia yang
akan datang sebelum kebangkitan badan. Dalam masa penyucian itulah
orang dapat memperoleh pengampunan dari dosa-dosa yang belum sempat
diampuni selama hidup di dunia (Tentang Kota Allah, XI, 13). Jiwa-jiwa di api penyucian dapat dibantu dengan korban dan doa-doa umat beriman yang masih hidup (Kotbah 172,2).
Masih banyak kesaksian Bapa Gereja mengenai api penyucian dan perlunya
mendoakan mereka yang berada di api penyucian. Secara umum api
penyucian haruslah dipahami sebagai saat pemurnian akibat dosa-dosa
yang dilakukan selama masih di dunia. Tentu bukan dosa yang membawa
maut.
3. Ajaran Resmi Gereja
Penegasan
resmi Gereja dapat dilacak dari beberapa konsili yang mengajarkan
mengenai api penyucian. Paus Innocentius IV dalam suratnya kepada Uskup
Frascati (1254) menegaskan pengakuan iman bahwa orang beriman yang
sudah menerima pengampunan dosa tetapi belum penuh, atau mereka yang
tidak berada dalam dosa berat, ada dalam penyucian setelah kematian dan
dapat dibantu dengan doa-doa umat beriman. Mereka ini berada di api
penyucian (purgatorium), untuk menyucikan dari dosa-dosa kecil yang belum diampuni, tetapi tidak dari dosa yang mematikan (DS
838). Pernyataan ini kemudian ditegaskan lagi dalam Konsili Lyon II
pada tahun 1274 dalam pengakuan iman Kaisar Michael Paleologus (DS
856). Konsili juga menegaskan bahwa ada kemungkinan jiwa langsung masuk
ke surga, bila orang beriman setelah dibaptis tidak berdosa lagi atau
sudah sungguh-sungguh dilepaskan dari dosa-dosa (DS 857).
Konsili
Firenze melalui Dekrit untuk orang-orang Yunani (1439) menegaskan
kembali pandangan mengenai saat penyucian bagi jiwa-jiwa yang masih
membawa dosa yang belum diampuni. Maka ada tiga situasi jiwa-jiwa orang
beriman setelah kematian. Yang pertama, ialah mereka yang meninggal
dalam rahmat, tetapi belum mendapatkan kepenuhan buah pengampunan dosa,
mereka ini masih perlu disucikan di api penyucian. Mereka dapat dibantu
oleh doa-doa, kurban, yang dilakukan oleh umat beriman (DS
1304). Yang kedua, mereka yang setelah baptis sungguh-sungguh tak
bercela dan tanpa noda dosa, mereka ini boleh langsung masuk ke sorga,
dan memandang Allah dari muka ke muka (DS 1305). Yang ketiga, mereka
yang berada dalam dosa maut, dosa besar masuk ke neraka (DS 1306). Ajaran ini kemudian ditegaskan lagi pada Konsili Trente ketika Gereja berhadapan dengan reformasi Protestan.
(Baca juga: Api Penyucian Menurut Ajaran Gereja)
(Baca juga: Api Penyucian Menurut Ajaran Gereja)
Konsili
Vatikan menempatkan jiwa-jiwa di api penyucian dalam kesatuan dengan
keseluruhan anggota-anggota Gereja. Konsili menyatakan bahwa di antara
anggota-anggota Gereja ada “yang masih harus mengembara di dunia, dan
ada yang sudah meninggal dan mengalami penyucian, ada pula yang
menikmati kemuliaan sambil memandang ‘dengan jelas Allah Tritunggal
sendiri sebagaimana adaNya”. Namun demikian, ketiga keadaan
anggota-anggota Gereja itu “saling berhubungan dalam cinta kasih yang
sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama
ke hadirat Allah kita” (LG 49). Secara khusus berkaitan dengan keadaan
mereka yang sudah meninggal dan masih harus mengalami penyucian,
Konsili Vatikan II menegaskan pernyataan-pernyataan konsili-konsili
sebelumnya. Konsili Vatikan II menempatkan jiwa-jiwa di api penyucian
sebagai anggota-anggota Gereja yang masih harus dimurnikan, yang tetap
berada dalam kesatuan dengan seluruh anggota Gereja. Maka tugas mereka
yang di dunia ini untuk mendoakan mereka.
Kesimpulan
Dari
penelusuran Kitab Suci maupun tradisi Gereja nampaklah bahwa mereka
yang ada dalam api penyucian adalah orang-orang yang mati dalam rahmat.
Artinya api penyucian bukanlah bagian dari neraka, tetapi merupakan
proses untuk sampai pada kepenuhan kemuliaan sorgawi. Memang Gereja
mengakui ada orang-orang yang langsung sampai pada kemuliaan sorgawi,
tanpa melalui api penyucian, yaitu mereka yang setelah baptis
sungguh-sungguh tidak berdosa lagi, ataupun setelah berdosa sudah
mendapatkan pengampunan secara penuh. Mereka ini langsung bersatu dalam
kemuliaan surgawi. Namun demikian seringkali buah pengampunan dosa
belum dapat dinikmati sepenuhnya selama ada di dunia, sebagaimana
akibat dosa seringkali masih tertinggal ketika orang sudah diampuni
dosanya. Hal ini menjadi hambatan bagi manusia untuk menanggapi kasih
Allah meski ia percaya bahwa Allah mengasihinya tanpa memperhitungkan
dosa-dosanya. Inilah yang masih perlu dimurnikan. Untuk itu diperlukan
bantuan mereka yang masih berada di dunia ini.
M. Purwatma, Pr.
Daftar Bacaan
Klinger, E. 1986 “Purgatory”, dalam K. Rahner (ed.), Encyclopedia of Theology. The Concise of Sacramentum Mundi, Burns & Oates, 1317-1320.
Ombres, R. , 1978 The Theology of Purgatory, Theolog Today Series 24, Dublin and Cork: The Mercier Press.
Rahner, K. 1983 “Purgatory”, dalam Theological Investigations 19: Faith and Ministry, translated by Edward Quinn, London: Darton, Longman & Todd, 181-193.
Schouppe, FX. 1988 Purgatory. Explained by The Lives and Legends of the Saints, Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers.
2007a Apa benar Api Penyucian Ada? Kesaksian Otentik Pujanga Gereja dan Para Kudus, disadur oleh FA. Suprapto dan I. Marsana Windhu, Yogyakarta: Tabora Media.
2007b 7 Cara Hindari Api Penyucian. Kesaksian Otentik Pujanga Gereja dan Para Kudus, disadur oleh FA. Suprapto dan I. Marsana Windhu, Yogyakarta: Tabora Media.