Seperti
sebuah karya seni yang telah diperbaiki, difernis sampai beberapa kali
dan kadang kala sedikit disalahgunakan, ritus Sakrament Pembaptisan
dalam Gereja Kristen juga telah mengalami perubahan selama berabad-abad
dengan alasan dan latar belakang tertentu. Namun biarpun demikian,
perubahan ritus itu tetap tidak mengubah hakekat Pembaptisan sebagai
Sakrament tanda kelahiran baru seseorang ke dalam Kerajaan Allah di
dalam Yesus Kristus. Tapi dewasa ini Gereja dihimbau untuk kembali ke
ritus pembaptisan yang dipraktekkan oleh Gereja Kristen pada abad-abad
pertama yaitu pembaptisan dengan dengan "mencelupkan" seorang
catechumen ke dalam kolam air. Karena ritus pembaptisan seperti ini
dirasa lebih efektif mengungkapkan peristiwa "kelahiran baru" seseorang
ke dalam Karajaan Allah yang dimasukinya melalui Sakramen Permandian.
Tapi demi alasan praktis, Gereja tetap diijinkan untuk memakai ritus
pembaptisan sederhana dengan "menuangkan sedikit air pada kepala".
Untuk lebih mamahami hal ini, mari kita kembali menengok sejarah Gereja
seputar ritus sakramen permandian.
***
Dalam
bab pertama Injil Markus, seperti telah diramalkan Nabi Yesaya,
Yohanes Pembaptis tampil di padang gurung sambil memaklumkan sebuah
"pembaptisan pertobatan" demi pengampunan atas dosa. Orang banyak
berkerumun mendengar kothbah Yohanes Pembaptis yang berkobar-kobar.
Mereka berbondong-bondong ke Sungai Yordan dan memberi diri mereka
untuk disucikan (Kata pembaptisan sendiri berasal dari kata Yunani
"bapizo" yang berarti "membasuh atau mencelupkan atau menenggelamkan").
Markus
menceriterakan bahwa Yesus juga kemdian datang kepada Yohanes dan
dibaptis. Ketika Ia keluar dari air, Ia melihat surga terbuka dan Roh
Kudus dalam rupa seekor burung merpati turun ke atasNya. Dan Ia
mendengar suara dari atas yang mengatakan:"Engkaulah PuteraKu yang
terkasih; kepadamu aku berkenan."
Penginjil
Markus kemudian melanjutkan ceriteranya dengan mengatakan bahwa segera
setelah peristiwa permandian di Sungai Yordan, Yesus dibawa Roh Allah
ke padang gurun and tinggal di sana untuk berdoa dan berpuasa 40 hari
lamanya, sambil digodai iblis. Setelah berdoa dan berpuasa, Yesus mulai
menjalankan perutusanNya di depan umum.
Lima belas
bab kemudian, pada bagian akhir dari Injilnya, Penginjil Markus kembali
mencatat kata-kata terakhir Yesus kepada kesebelas rasul (dikurangi
Yudas Iskariot yang telah mengkianati Yesus): "Pergilah ke seluruh bumi
dan wartakanlah Injil…Barangsiapa percaya dan dibaptis akan
diselamatkan."
Kalau kita
meneliti Kitab Suci Perjanjian Baru (PB) maka kita akan menemukan
kenyataan bahwa Kitab Suci PB tidak menceriterakan "bagaimana para
Rasul membaptis". Tapi ahli sejarah Gereja berpendapat bahwa
kemungkinan besar seorang calon permandian berdiri di air sungai atau
di sebuah kolam umum, dan kemudian air dituangkan ke atas kepalanya,
sambil ditanyakan kepadanya: Apakah saudara (saudari) percaya kepada
Allah Bapa? Apakah saudara percaya akan Allah Putera, yaitu Yesus
Kristus? Apakah saudara percaya akan Allah Roh Kudus? Setiap kali calon
menjawab "ya" atas masing-masing pertanyaan itu, ia ditenggelamkan
(dicelupkan ) ke dalam air sebanyak tiga kali juga.
Tentang hal ini, Yustinus Martir (100-165 AD) menulis begini:
"Calon permandian berdoa dan berpuasa.
Komunitas beriman berdoa dan berpuasa dengan dia.
Calon permandian masuk ke dalam air.
Petugas Gereja mengajukan kepadanya tiga pertanyaan Trinitaris.
Calon sekarang diperkenalkan kepada komunitas umat beriman.
Doa umat kemudian disampaikan oleh semua untuk yang baru saja dibaptis.
Ciuman tanda kasih dan damai diberikan kepadanya oleh semua umat beriman.
Lalu Ekaristi kudus dirayakan."
Setengah abad
kemudian, pujangga Gereja Tertulianus menjelaskan lebih detail lagi.
Ia mulai menyebut adanya "pengurapan" minyak suci, "tanda salib" dan
"penumpangan tangan" atas calon permandian.
Untuk
orang-orang yang hidup pada tiga abad yang pertama sesudah Yesus,
langkah-langkah yang harus ditempuh sebelum dibaptis tidak terlalu
gampang. sering mereka diarahkan kepada kemartiran.
Sebelum
Kaisar Romawi Konstantinus mengumumkan pada tahun 313 bahwa Gereja
Kristen bukan lagi sebuah agama ilegal, maka setiap orang, baik
laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang menggabungkan diri menjadi
orang Kristen dipandang sebagai sebagai penjahat dan dihukum dengan
sangat keji. Ingat sejarah Gereja. Selama tiga abad pertama orang-orang
Kristen dianiaya dan dibunuh oleh pemerintahan kafir Romawi. Orang
Romawi pada masa itu mempunyai agama sendiri dengan pusat kultus
penyembahan kepada dewa-dewi. Orang Kristen yang tidak menyembah
dewa-dewi sembahan kaisar dianggap kafir, kriminal, melawan kaisar dan
mereka dihukum dengan sangat keji seperti digantung hidup-hidup dikayu
salib, dibakar hidup-hidup, digoreng dan direbus hidup-hidup, dilempar
hidup-hidup ke dalam kandang singa yang sengaja tidak diberi makan
berhari –hari supaya mereka lapar betul dan makan orang Kristen.
Kemungkian
besar Gereja waktu itu menyusun sebuah proses perkenalan kepada orang
yang baru bergabung ke dalam komunitas umat beriman. Gereja (umat
beriman) butuh waktu untuk mengenal dan percaya kesungguhan hati setiap
calon permandian sebelum mereka dipermandikan (sama seperti si calon
permadian juga butuh waktu untum memperlajari lebih tentang Gereja yang
merupakan agama "di bawah tanah" pada masa itu).
Ada suatu
alasan mengapa calon permandian membutuhkan sponsor (wali permandian,
bapa-ibu permandian), yaitu seorang anggota komunitas beriman yang
menjamin si calon permandian. Sponsorlah yang bertugas pergi menghadap
uskup dan membuktikan kepadanya bahwa calon permandian merupakan
seorang yang sungguh baik. Lalu, selama bertahun-tahun sponsor bekerja,
berdoa dan berdoa bersama anak/orang didikannya sampai pada hari
pembaptisan tiba.
Pada waktu itu, masa katekumen (dari bahasa Yunani yang berarti "instruction" atau pelajaran) terdiri atas dua bagian.
Bagian
pertama adalah sebuah "masa persiapan rohani" yang berlangsung selama
kurang lebih tiga tahun. Bagian kedua adalah masa persiapan akhir
menjelang permbaptisan. Bagian ini dimulai pada masa Puasa dan
kegiatannya terdiri atas doa-doa yang rutin, puasa, dan penelitian
kelayakan sang calon permandian oleh uskup.
Kemudian si
calon dibawa ke depan uskup dan para imam, sementara sang sponsor
ditanyai. jika sponsor bisa menjamin bahwa sang calon tidak mempunyai
tabiat buruk yang serius (seperti mabuk, tiak menghormati orangtua dan
lain-lain) uskup kemudian mencatat nama calon ke dalam buku baptis.
Calon tidak
diijinkan untuk mengambil bagian secara penuh dalam perayaan misa
kudus. Setelah Liturgi Sabda (sesudah homili) seorang calon permandian
diminta untuk meninggalkan Gereja atau tempat berlangsungnya perayaan
misa kudus. Para calon hanya diijinkan untuk mendengar Credo dan doa
Bapa Kami dan menghafalnya secara diam-diam.
Puncak dari
upacara itu dimulai pada Hari Kamis Suci dengan sebuah wadah pemandian
sebagai sarana penyucian rohani. Calon kemudian berdoa dan berpuasa
keras pada Hari Jumat Agung dan Sabtu Suci.
Pada malam
hari Sabtu Suci, calon permandian laki-laki dan wanita ditempatkan di
ruangan yang terpisah dan gelap. di ruangan yang gelap ini, setiap
calon berdiri sambil menghadapkan wajah ke arah barat (barat dianggap
simbol kegelapan dan setan, karena matahari terbit di timur). Seorang
diakon akan meminta para calon untuk merentangkan lengan mereka dan
menghembuskan nafas untuk mengeluarkan semua roh yang tidak baik dari
dalam tubuh, sambil berkata: "Saya melepaskan diri dari kau, setan,
dari kungkunganmu, dari segala pernyembahan terhadapmu dan semua
malaikatmu yang jahat." Lalu sesudah itu, sambil memutarkan badan ke
arah timur, para calon berseru: "Sekrang saya menyerahkan diriku
kepadaMu, O Yesus Kristus." Berdasarkan ini, bertobat kemudian harafiah
berarti "memutar haluan" (turning around).
Sampai di
sini, para calon kemudian menurunkan tangan dan lengan mereka, dan
uskup lalu mengurapi kepala mereka masing-masing dengan minyak. Ini
adalah lambang meterai Kristus. Sekarang secara rohani mereka ditandai,
sama seperti seorang gembala menandai (mencap) kawanan ternaknya.
Sesudah itu
setiap kelompok akan pergi ke ruang lain dan menanggalkan pakaian
mereka. Peristiwa "penanggalan pakaian" ini melambakan "penanggalan
manusia lama dari seseorang" (taking off the old self) dan kembali ke
keadaan murni taman Eden sebelum munusia pertama jatuh ke dalam dosa
dan lebih dari itu ada kepercayaan orang pada masa itu bahwa roh-roh
jahat sering melekat pada pakaian seseorang seperti kutu busuk.
Lalu dalam
keadaan telanjang dan terpisan menurut jenis kelamin, para calon
dihantar ke tempat permandian. Setiap calon masuk ke dalam air yang
dalamnya sampai setinggi dada dan uskup akan berlutut di samping kolam
air. uskup lalu dengan halus menekan kepada calon ke dalam air sampai
tiga kali, sambil mempermandikan (menuangkan air) mereka satu persatu
di dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Setelah orang
Kristen yang baru dipermandikan itu keluar dari air dan setelah tubuh
mereka dilap, mereka diberi pakaian baru berbentuk kain linen putih
yang mereka pakai sampai minggu berikut. Setiap anggota baru dari
komunitas umat beriman dibagikan sebuah lilin bernyala dan ciuman tanda
kasih dan damai.
Setelah semua
calon dibaptis, mereka merayakan Ekaristi dengan seluruh komunitas
umat beriman. Untuk pertama kali, orang yang baru dibaptis mengambil
bagian secara penuh dalam seluruh misa dan menerima Komuni Kudus.
Kemudian
hari, aspek kerahasiaan dan kesedian calon untuk mengorbankan hidupnya
untuk mati demi Kristus menjadi pudar setelah Gereja Kristen diterima
sebagai agama resmi Kekaisaren Roma pada awal abad IV. Lebih dari itu,
sejak Gereja Kristen diakui sebagai agama resmi dari negara,
menggabungan diri ke dalam Gereja merupakan suatu kebijakan politis.
***
Penting
untuk diingat bahwa doktrin tentang Sakramen Pembaptisan kemudian
berkembangan seturut perkembangan jaman. Tidak terlalu mudah, misalnya,
untuk menentukan apa yang harus dibuat dengan orang-orang yang
melakukan dosa berat setelah pembaptisan atau dengan orang-orang yang
menyangkap iman mereka, lalu kemudian bertobat lagi dan minta diterima
lagi ke dalam komunitas umat beriman.
Salah satu
dari masalah-masalah itu adalah masalah peranan pembaptisan bayi. Para
ahli Kitab Suci mengandaikan bahwa ketika "seluruh rumahtangga"
dipermandikan, permandian itu termasuk anak-anak, bahkan yang paling
kecil sekalipun (bayi). Tapi sekali lagi, oleh karena perkembangan
refleksi iman/teologi, seperti penjelasan St. Agustinus tentang Dosa
Asal pada abad V, yang akhirnya membuat permandian bayi menjadi amat
populer dan dominan. Pada point ini, Pembaptisan tidak lagi dilihat
terutama sebagai awal dari kehidupan moral, tapi lebih ditekankan
sebagai jaminan untuk diterima di dalam kerajaan surga setelah kematian.
Pada awal
Abad Pertengahan, ketika seluruh suku di Eropa utara bertobat dan
seluruh suku (sering jumlahnya sampai ribuan) harus dibaptis secara
serempak jikalau kepala suku atau raja mau masuk Kristen. Dalam keadaan
seperti itu, sebuah ritus (tata upacara) yang lebih sederhana, praktis
dan cepat, amat dibutuhkan. Sampai pada akhir abad VIII, upacara
permandian yang sebelumnya panjang dan berlangsung selama
berminggu-minggu telah dibuat sangat singkat. Anak-anak menerima
upacara pengusiran roh jahat selama tiga kali pada minggu-minggu
sebelum Paska dan Sabtu Suci. Setelah air pembaptisan dan bejana
pembaptisan (bukan lagi kolam) diberkati, anak-anak kecil dicelupkan
kepadanya ke dalam bejana air itu sampai tiga kali. Sesudah itu para
imam mengurapi kepala mereka dengan minyak, uskup menumpangkan tangan
ke atas mereka dan mengurapi mereka sekali lagi dengan minyak suci, dan
mereka diberi Komuni Kudus dalam perayaan misa Kudus.
Ritus
kemudian terus dibuat semakin singkat ketika kebiasaan bayi menerima
komuni suci pada waktu permandian dihapus oleh Konsili Trente pada
tahun 1562.
Dan karena
Pembaptisan sekarang dilihat sebagai kunci untuk diterima dalam
kerajaan surga, Gereja kemudian menawarkan sebuah ritus darurat yang
pendek untuk bayi-bayi yang berada dalam bahaya kematian. Sebelum awal
abad XI sejumlah uskup mengingatkan bahwa bayi kemungkian besar selalu
berada dalam bahaya kematian yang tiba-tiba dan karena itu mereka
mendorong para orangtua untuk tidak menunggu sampai perayaaan besar
pada Hari Sabtu suci untuk mempermandikan bayi-bayi mereka.
Sebelum abad
XIV, perayaan pembaptisan pada hari Sabtu Paska benar-benar sudah
hilang, kecuali upacara pemberkatan bejana dan air, dan ritus
permandian yang lama dipersingkat lagi dan hanya dibuat sebagai upacara
kecil waktu imam masuk Gedung Gereja.
Sejak masa
ini pembaptisan hanya disaksikan oleh anggota keluarga inti dan
sejumlah kecil kaum kerabat, daripada disaksikan oleh seluruh komunitas
umat beriman (seperti sebelumnya). Ketimbang mencelupkan bayi-bayi ke
dalam kolam air, para imam hanya menuangkan sedikit air ke atas kepala
anak-anak.
Seiring
dengan perjalanan sejarah, dan ritus pendek permandian yang semula
disusun khusus hanya untuk bayi-bayi, yang berada dalam bahaya
kematian, menjadi begitu universal, ritus permandian Gereja perdana
(abad I sampai III) semakin lama semakin dilupakan. Tapi kemudian pada
akhir tahun 1950-an para ahli sejarah Gereja mulai meneliti dan studi
kembali mengenai ritus-ritus Gereja abad pertama. Hasilnya adalah bahwa
pada tahun 1969, sebuah ritus Pembaptisan untuk anak-anak (bayi), yang
telah direvisi, diterbitkan. Sama seperti ritus Gereja perdana, ritus
yang disempurnakan ini menekankan aspek kommunal dari perayaan
sakramen-sakramen. Upacara pembaptisan dianjurkan untuk dibuat dalam
rangkaian perayaan misa (seperti sakramen perkawinan). Ritusnya
diperpanjang juga. Sekarang orangtua diharapkan menghadiri pembinaan
(pendalaman) iman setiap kali anak mereka mau dipermandikan. Dan
penekanan teologis bergeser dari Pembaptisan sebagai "jaminan masuk
surga" ke upacara permulaan masuk ke dalam kehidupan moral. Pada tahun
1980, sebuah dokument dari Vatikan menegaskan bahwa jika orangtua tidak
menjamin dan tidak mau memastikan bahwa anak (bayi) mereka akan
dibesarkan dalam iman Katolik, maka Pambaptisan sebaiknya ditunda
sampai tidak ada batas waktu.
Setelah
beberapa dekade berlalu, kita perlahan-lahan kembali kepada
simbol-simbol, drama dan spiritutalitas komunal umat beriman yang
merupakan ciri khas pembaptisan pada abad-abad pertama sejarah Gereja
yang dirasa lebih efektif mengungkapkan makna permandian sebagai tanda
kelahiran baru ke dalam Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus, sambil
tetap mengakui keabsahan pembaptisan dengan ritus yang sederhana dan
singkat. Karena biar bagaimanapun bentuk, panjang atau pendeknya ritus
Sakramen Permandian, hakekatnya tetapi sama dan sah sebagai tanda
kelahiran baru.
Oleh Romo Alex Jebadu, SVD