foto ilustrasi: Penerimaan Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik |
Ditulis oleh: Blasius
Slamet Lasmunadi, Pr
Usaha memahami Sakramen Perkawinan
secara "baru" ini saya gulirkan dalam beberapa tulisan. Mengapa
"secara baru", karena gagasan ini saya tuangkan dalam rangka memperdalam
gagasan retret para imam Keuskupan Purwokerto (10-14 Nov 2008) di Purwokerto
bersama Fr Fio Mascarenhas dari India, yang menekan pentingnya relasi umat
beriman dengan Tritunggal Mahakudus.
Saya menempatkan status diri dalam
tulisan ini sebagai se- orang imam dan sebagai seorang anak dalam
keluarga-ku. Karena itu tulisan saya ini barangkali banyak bernuansa teologis
daripada praksis. Justru karena kurang praksis, terbukalah kesempatan untuk
Anda semua, untuk mengkritik tulisan ini atau memberi komentar apapun, juga
yang "nakal" sekalipun dipersilakan.
| |
Tulisan ini dibagi menjadi 2
bagian: (A) Suami isteri sebagai mitra kerja Allah dan (B) Peran suami isteri
sebagai imam, nabi dan raja.
|
A.
Suami isteri sebagai "mitra
rekan kerja Allah"
Dalam Perayaan Sakramen Pernikahan, kita sering mendengarkan
Sabda Tuhan yang diwartakan seperti ini, "Sebab pada awal dunia, Allah
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,sehingga keduanya itu menjadi
satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:6-9)
Sabda Tuhan yang menegaskan kebersatuan suami isteri itu dan
sifat monogaminya, juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1056:
"Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan=monogami) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen."
"Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan=monogami) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen."
Sifat monogami dan sifat tak dapat diputuskan itu tentulah
dimengerti oleh para calon suami isteri sebelum mereka mengucapkan kesepakatan
janji nikah. Janji nikah yang diucapkan pria dan wanita yanga dibaptis, dan
diucapkan di hadapan Allah dan Gereja, mereka berdua telah "saling
menerimakan sakramen perkawinan". Kesepakatan nikah pria dan wanita yang
dibuat dengan tahu, sadar dan bebas dari segala paksaan apapun, adalah
keputusan untuk "menjadi mitra Allah" dalam karya keselamatan-Nya.
Suami isteri menjadi "mitra Allah" dengan
"hidup dalam persekutuan sebagai "Gereja keluarga". "Apakah
artinya "persekutuan" bagi suami isteri? Artinya, saat mengucapkan
janji nikah di hadapan Allah dan Gereja, suami isteri saling
"menukar" hidup dan pribadinya. Suami menyatakan "engkau
isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku. Demikian juga isteri
bersedia "engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku".
Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya,
sebagai "dirinya sendiri" , sebaliknya begitu. Dengan kata lain,
suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan
hidup dirinya sendiri. Itulah "mengasihi sesama seperti dirinya
sendiri" dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi "tanda
kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia.
Allah Bapa tidak menyesal menciptakan manusia, meskipun Adam
dan Hawa, akhirnya jatuh dalam dosa asal. Keturunan merekapun satu per satu,
bergantian, turun temurun, dari generasi satu ke generasi yang lain, mewarisi
dosa asal. Maka setelah melalui sejarah yang berliku-liku, Allah mengutus
Putera-Nya yang tunggal, Yesus untuk hidup dan tinggal bersama manusia.
Kristus itulah yang melaksanakan tugas untuk menebus dosa
manusia, dengan hidup dan wafat-Nya di kayu salib. Tugas itu dilaksanakan
dengan sempurna oleh Kristus sehingga Allah tidak segan untuk meninggikan
"Dia di atas segala nama", dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga.
Kebangkitan itu menganugerahkan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Akan tetapi
kebebasan itu tidak serta merta ditanggapi manusia untuk hidup di dalam Roh,
mengasihi Allah dan sesama, malahan kerap kali kebebasan itu disalahgunakan
untuk "bekerjasama dengan kuasa kegelapan dosa", yakni hidup menurut
daging. Karena itulah, Yesus mengutus Roh-Nya sendiri setelah 50 hari
kebangkitan-Nya agar manusia mampu memenangkan pertempuran antara kehendak
untuk hidup dalam Roh dan kecenderungan hidup dalam kegelapan dosa.
Dengan lain kata, keputusan pria dan wanita untuk hidup
menikah, adalah buah Roh Kudus, yakni menggunakan kebebasannya sebagai anak
Allah untuk mewujudkan panggilan dasarnya sebagai citra dan anak-Nya untuk
mencintai seperti Allah mencintai manusia. Panggilan dasar itu diwujudkan dalam
hidup pernikahan. Maka sakramen pernikahan memperbaharui buah buah sakramen
pembaptisan. Buah sakramen pembaptisan, tidak hanya mendapat anugerah kebebasan
sebagai anak Allah, melainkan juga memberi daya kekuatan untuk menggulirkan
kebebasan itu dalam tiga perannya: sebagai imam, nabi dan raja.
B.
Tiga peran Suami Isteri dalam
kemitraan dengan Allah
Suami isteri kristiani sebagai orang yang dibaptis telah
dipercaya menjadi anak-Nya sekaligus ahli waris. Karena itu mereka dipanggil
untuk menjadi imam, nabi dan raja Sebagai imam, suami isteri dipanggil untuk membangun relasi yang
intim dengan Allah. Relasi itu dibangun dengan "merayakan iman" dan
"mewujudkan iman dalam tindakan kasih." Tugas merayakan iman adalah
kesediaan untuk berdoa: berbicara dengan Tuhan dalam berbagai macam kesempatan.
Termasuk juga, yang harus dibuat, belajar minta Roh Kudus kepada Allah Bapa
karena Roh Kudus tidak otomatis dianugerahkan kepada kita, melainkan Ia akan
hadir dan terlibat dalam hidup kita.
"Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang
baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh
Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11, 13)"
Roh Kudus sudah hadir di tengah tengah kita, namun bagaimana
kita mampu mengalami karya Roh itu kalau tidak membuka diri. Ibarat bagaikan
orang yang mencari sinar matahari di pagi hari sampai siang, padahal dia terus
menerus tinggal di gua dan tidak pernah mau keluar dari gua itu. Maka, penting
dan mendesak, jangan ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus kepada Bapa agar
terlibat membantu memberikan pencerahan di saat banyak kesulitan.
Sikap hidup "yang melibatkan Roh" itu pasti akhirnya menantang suami isteri untuk melepaskan
diri dari ketergantungan terhadap fasilitas yang nampaknya dapat
diandalkan. Dengan lain kata, melibatkan Roh dalam hidup bersama, berarti
jerih payah apapun suami isteri dapat menjadi korban persembahan bagi Tuhan
kalau dilaksanakan "demi kepentingan terwujudnya buah-buah Roh, "
kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
kelemahlembutan, penguasaan diri.' (Gal 5:22-23)
Sebaliknya jerih payah suami isteri, bahkan yang kelihatan
luhur sekalipun tidak akan menjadi "kurban persembahan bagi Allah"
kalau dilaksanakan demi "kepentingan sendiri" atau demi kepentingan
"daging". Karena hidup dalam daging, "percabulan, kecemaran,
hawa nafsu," penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan,
iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,kedengkian,
kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5: 21)
Dengan kata lain peran sebagai imam menuntut peran
sebagai "raja", yang memiliki sikap "proaktif untuk melayani
sesamanya". Mereka tidak akan berbangga kalau menjadi pribadi yang suka
disapa, atau jadi pribadi yang ditakuti pasangan hidup atau anaknya
sendiri. Allah sendiri menganugerahkan Roh sebagai anak Allah bukan roh
perbudakan yang membuat kita takut."Semua orang, yang dipimpin Roh
Allah, adalah anak Allah.Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat
kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu
anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Rm
8:14-15) Dengan keyakinan Santo Paulus ini, suami isteri dipanggil untuk
menampilkan hidup sebagai anak Allah. Hidup sebagai anak Allah selalu terarah
pada kepentingan Bapa, dan bukan kepentingan harga diri sendiri. Maka, suami
isteri mesti belajar untuk dinilai dan dikritik oleh pasangannya. Kalau keliru,
belajar cepat meminta maaf, tidak malahan membela diri dan berargumentasi bahwa
dirinya benar. Kalaupun benar pendapatnya, lebih baik mengatakan, "Terima
kasih atas kritikanmu! Iya, bisa jadi saya keliru, meski sekarang saya yakin
pendapatku ini benar!" Keterbukaan seperti itulah, yang meningkatkan
kualitas pribadi yang siap untuk diubah oleh Roh Kudus. Dengan semangat
itu, suami isteri dapat mewujudkan sakramen perkawinan: sebagai tanda kehadiran
cinta Tuhan yang nyata, yakni,
(i) menjadi tanda cinta Allah Bapa Sang Pencipta dan
pemelihara hidup melalui prokreasi, merawat dan mendidik anak sampai mandiri,
(ii) menjadi tanda kasih Yesus yang menebus dosa manusia
dengan mengampuni satu sama lain, tidak menghakimi, namun belajar untuk
mengubah kelemahan pasangan menjadi kesempatan untuk berefleksi dan
(iii) belajar untuk menjadi tanda kehadiran Roh Kudus yang
menyertai kita sepanjang hidup, dengan belajar mendengarkan dan berkanjang
bersama: tidak saling melempar kesalahan, tidak saling melempar tanggung jawab,
melainkan belajar setia, yakni sehati seperasaan dalam suka dan duka.
Ketiga
tindakan itu berwarna Trinitaris, maka ketiga tindakan itu tidak terpisahkan. Tidak cukup pasutri hanya prokreasi dan mendidik anak tanpa
pengampunan dan solider antara suami isteri dan antar orang tua dan anak. Dengan
cara hidup macam seperti suami isteri menjadi "tanda cinta yang hidup dari
kesetiaan Allah kepada manusia".
Akan tetapi bagaimana penghayatan itu sampai pada kenyataan kalau suami isteri kurang membuka diri kepada sabda Allah. Karena itu peran sebagai imam dan raja, mesti didukung dengan peran sebagai nabi, yang bersedia mendengarkan sabda Allah dan melaksanakan dalam hidup setiap hari. Sabda Tuhan itu adalah roh dan kehidupan. Maka suami isteri ditantang untuk hidup dari Sabda agar mereka memiliki "roh dan kehidupan" karena "Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup."(Yoh 6:63). itulah sebabnya Petrus pun setia mengikuti kemana Yesus pergi karena "Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal" (Yoh 6:68). Kata-kata Yesus itu sendiri meneguhkan kita semua, agar tidak lagi ragu-ragu untuk setia mendengarkan Sabda Tuhan agar kita mengenal siapa Kristus, dan terlebih agar kita memiliki roh dan hidup!! Maka suami isteri ditantang untuk sungguh berperan sebagai "nabi": menjadi tanda kehadiran Allah yang bersabda bagi pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudarinya.
Dengan
penghayatan begitulah, pasutri membawa hidupnya dalam persembaan di altar dalam
ekaristi. Hidupnya dengan segala kerapuhan dan kelemahan dipersembahkan bersama
kurban Kristus, agar saat komuni terjadilah "pertukaran ilahi":
Kristus hadir dalam diri suami isteri untuk menerima hati mereka dengan
segala keletihan dan rasa lesu serta beban berat, dan menggantikannya
dengan Tubuh dan Darah-Nya, agar setelah ekaristi, hidup mereka dalam
keluarga sungguh menampilkan hidup Kristus yang setia pada Gereja-Nya.
Karena itu Kristus yang setia pada Gereja-Nya membutuhkan suami isteri untuk
bekerjasama, agar kesetiaan Kristus tampak bagi dunia. Di situlah tugas
suami isteri, "menampakkan" kesetiaan kasih Kristus bagi dunia.
Dengan
"menampakkan kesetiaan" itu dalam hidup bersama yang diwarnai kasih,
suami isteri menjadi tanda "pertukaran ilahi" antara Kristus dengan
manusia. Itulah "pertukaran" yang menjadi ciri khas "persekutuan
suami isteri monogami dan tidak terceraikan". Semoga makin banyak pasutri
kristiani yang menjadi tanda kasih Allah yang hidup bagi dunia.
Salam
hangat untuk pasutri dan keluarga kristiani di manapun berada.