Ditulis oleh: Blasius
Slamet Lasmunadi, Pr
Dalam
kursus persiapan perkawinan, saya mengajukan pertanyaan pertama begini,
"Apakah kaliah harus menerima kelemahan pasangan apa adanya?" Dengan
penuh semangat mereka menjawab, "Pasti dong Romo! Masak sudah suami isteri
nggak mau meneriman kelemahan pasangan!" Lalu saya tidak mengomentari,
tapi saya bertanya lagi, "Sampai kapan kalian akan saling menerima
kelemahan apa adanya?" Dengan mantap tanpa ragu ragu, mereka pun menjawab,
"Yah pastilah kami mau menerima kelemahan sampai maut memisahkan Romo.
Masakan kita sudah janji nikah, mau diingkari!"
Saya masih juga belum berkomentar, tapi
memperdalam jawaban, "Kalau begitu, "Apa jaminan kalian, kok bisa
mengatakan mampu saling menerima kelemahan pasangan sampai akhir hayat? Kalau
orang hutang di pegadaian, jaminannya bisa sertifikat tanah, dsb. Kalau kalian
bertekad mau menerima kelemahan "apa adanya", jaminannya apa?
Pasangan itu lalu bekerut dahi. Namun mereka berusah menjawab, "Romo,
jaminan kami ya percaya saja pada pasangan, dan ingat janji nikah!" Saya
mulai menggugat jawaban mereka, "Ah apa benar, saya kok tidak yakin!! Coba
sekarang kalau kenyataannya begini. Misalnya, kalau suamimu ini sering tidak
bisa bangun malam, padahal sebagai ibu, kamu sudah capek, dan tidak bisa bergantian
jaga untuk ganti popok anakmu, apakah sebagai ibu, kamu akan diam saja
atau mau protes atau marah?"Pihak calon isteri langsung saja spontan
menjawab, "Yah kalau begitu, mana bisa Romo, pasti saya juga marah!'
Saya langsung tertawa, sambil menyahut, "Nah, lho...baru saja tadi kalian
bilang mau menerima kelemahan apa adanya, kok sekarang berbeda jawabanmu? Coba
saya tanya pada calon suami nih, "Mas, kalau isterimu judes dan galak,
selalu saja komentar dengan cara berpakaianmu, caramu makan, dsb, kira kira
kamu terima apa nggak diperlakukan begitu oleh isterimu nanti?" Spontan,
calon suami tadi langsung menyahut, "Romo, yah harapannya tidak seperti
itu, tapi kalau terjadi, mana saya bisa terima kelemahan isteri saya!"
Saya
lalu menanggapi jawaban mereka berdua, "Nah ternyata apa yang tadi kalian
katakan tidak konsisten kan? Setelah dihadapkan pada contoh dan kenyataan yang
akan terjadi, kalian sudah mengatakan "tidak bisa menerima kelemahan
pasangan!" Jadi sebenarnya, mitos itu mesti diganti dengan cara pandang
baru, bagaimana mengubah PARADIGMA KITA TENTANG KELEMAHAN MANUSIA, Kelemahan
yang dianggap sebagai gangguan yang menggelisahkan, membosankan dan
mengecewakan, dipahami sebagai "SAAT SAAT ISTIMEWA PENUH RAHMAT TUHAN
untuk tumbuh dan berkembang sebagai pasangan hidup
Contohnya
begini: kalau isterimu judes, galak dan cerewet, itu kesempatan bagimu sebagai
suami untuk "dinilai, dikritik dan ditunjukkan kesalahanmu" Jadi nanti
kalau habis bekerja, kalau ada kesalahpahaman, tanyalah pada isterimu,
"apa yang salah dalam diriku menurutmu, coba kamu nilai kerjaanku apa
sudah baik apa belum!" Kalau, suamimu sering bangun terlambat karena tidur
larut malam, atau tidak bisa bangun malam untuk berganti jaga, tanyakan pada
suamimu, "Mas, kalau kamu bangun terlambat, saya belajar untuk memahami
bagaimana kamu capek seharian sudah kerja. Tapi saya juga jadi ingin tahu, apa
Mas keberatan dengan tanggung jawab untuk berganti jaga malam hari mengganti
popok? Kalau keberatan, katakan, ya itulah resiko yang harus aku tanggung!
Namun, alangkah senangnya, kalau Mas bisa bangun pagi, atau bisa berjaga malam!
Tapi itu harapanku!" Isteri belajar untuk mempelakukan suami menjadi
"diri sendiri". Demikian juga suami yang mengenal isterinya judes, ia
tidak mau mengubahnya, melainkan menghargai dia dengan cara memberi
kesempatannya menilai.
Dari
berbagai pengamatan, setelah pandangan itu diterapkan, ternyata mengurangi
banyak percecokkan dalam keluarga. Mereka bisa bergembira dalam hidup
perkawinan, Tidak usah pusing saling mempersatukan perbedaan, melainkan mereka
bisa sersan, serius tapi santai, menghadapi kelemahan satu sama lain.
Moga moga makin banyak hidup perkawinan menjadi
tanda kehadiran cinta Allah yang membebaskan orang untuk saling mengasihi.